Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 07/04/2020 14:08 WIB

Perlindungan Konsumen Saat Pandemi Covid-19 Lemah

Ilustrasi masker (Istimewa)
Ilustrasi masker (Istimewa)

JAKARTA, DAKTA.COM - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti mengatakan, perlindungan konsumen saat meluasnya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) lemah.

 

Lemahnya perlindungan konsumen dapat dilihat dari, salah satunya, melonjaknya harga barang penting yang akhirnya menyebabkan terjadinya panic buying. Pada masa pandemi saat ini, komoditas pangan, masker, hand sanitizer, dan obat-obatan termasuk ke dalam barang penting.

 

Ia menyebut, pasca dikonfirmasinya dua pasien pertama yang positif tertular Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo, krisis ini telah menimbulkan banyak kekhawatiran di masyarakat. Salah satu dampak dari kekhawatiran ini adalah fenomena panic buying. Masyarakat sebagai konsumen melakukan panic buying sebagai respon dari adanya kemungkinan lockdown atau karantina wilayah dan ketidakpastian ketersediaan barang di pasar.

 

Ia menjelasan, Nielsen menyebutkan ada beberapa tahap panic buying atas pandemi Covid-19. Tahap I dan II merupakan kepanikan untuk membeli produk kesehatan dan perlindungan diri seperti suplemen kesehatan, masker dan hand sanitizer.

 

Kelangkaan barang-barang tersebut di pasar akibat panic buying telah menyebabkan kenaikan harga sampai 10 kali lipat di banyak kota di Indonesia, seperti di Depok, Denpasar, Jakarta, Medan, Pontianak, Samarinda, Purwakarta, dan di hampir seluruh kota di Indonesia.

 

Fase berikutnya, yaitu Tahap III, juga dialami Indonesia dimana konsumen menyasar bahan makanan dan produk kesehatan. Indonesia harus siap kalau Tahap IV terjadi. Pada tahap ini, ketersediaan barang, baik online dan offline, menipis. Hal ini harus diantisipasi oleh pemerintah dengan memastikan ketersediaan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat lewat perdagangan nasional maupun internasional.

 

“Menyikapi krisis ini, pemerintah idealnya perlu fokus pada kebijakan yang mengutamakan ketersediaan barang di pasar dan mengutamakan kelancaran arus barang dan juga kelancaran proses distribusinya. Hal ini penting, terutama untuk mereka yang paling terdampak oleh krisis ini,” jelasnya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (7/4).

 

Ira menyatakan, pandemi Covid-19 paling merugikan masyarakat kalangan bawah. Hal ini juga dapat dilihat dari data harga pangan, contohnya beras. Sejak 31 Desember 2019, tidak ada perubahan harga di pasar modern pada Beras Kualitas Bawah II maupun Super I, yang masing-masing masih Rp15.650 dan Rp20.750 (per tanggal 06/04/2020).

 

"Namun, ada kenaikan harga cukup signifikan di pasar tradisional. Sejak 31 Desember ke hari ini, Beras Kualitas Bawah II naik 6,51%, sedangkan Beras Kualitas Super I naik 5,50%. Hal ini menunjukkan konsumen pasar tradisional, terutama yang mengonsumsi barang inferior, Beras Kualitas Bawah II, lebih rentan terhadap perubahan harga," ujcappnya.

 

Konsumen Indonesia memang belum melek dan belum memahami hak-haknya sebagai konsumen. Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2018 adalah 40,41. Angka ini mencerminkan konsumen hanya tahu akan hak dan kewajibannya, namun belum mampu untuk menggunakan dan memperjuangkan hak-haknya.

 

"Rendahnya IKK disebabkan oleh beberapa hal, seperti rendahnya pemahaman tentang regulasi yang menjelaskan hak dan kewajiban konsumen, rendahnya pemahaman tentang institusi perlindungan konsumen, perilaku pembelian yang kurang cermat dan keengganan konsumen untuk menyampaikan komplain," katanya.

 

Pemberdayaan konsumen sangat penting karena bukan hanya mendorong kesadaran dan kewajiban konsumen untuk meningkatkan kualitas dan pertumbuhan industri, namun juga perekonomian nasional. Menurut data Census and Economic Information Center (CEIC), konsumsi rumah tangga Indonesia telah berkontribusi sebanyak 58,6% terhadap nominal Produk Domestik Bruto (PDB) pada Desember 2019.

 

Ia memaparkan, hal ini menunjukkan bahwa konsumen berperan vital pada perekonomian Indonesia. Dengan adanya pandemi Covid-19, pemerintah telah memetakan penurunan signifikan terhadap target pertumbuhan PDB pada 2020. Ini sangat dimungkinkan dengan melemahnya konsumsi Indonesia di tengah pandemi ini, yang sebagian diakibatkan oleh naiknya harga barang-barang di pasar. Kenaikan harga-harga, terutama pada barang penting, tentu saja menekan pendapatan riil masyarakat.

 

Pada sisi kualitas dan pertumbuhan industri, lanjut Ira, terberdayanya konsumen akan memacu pelaku usaha untuk menjaga kualitas dan reputasinya. Pada kasus pendemi ini, konsumen yang menyadari tindakan eksploitatif dari oknum penjual yang menaikkan harga secara tidak wajar dimungkinkan tidak akan bertransaksi di kemudian hari.

 

Hal itu disebut dengan penurunan confidence to transact. Akibat dari pandemi dan tindakan eksploitatif, confidence to transact menurun di toko offline maupun online. Hal ini bisa berdampak penurunan konsumsi PDB, tidak hanya saat ini, namun di jangka mendatang.

 

Kejadian kenaikan harga yang tidak wajar atas penimbunan barang diatur Pasal 107 di Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Hak-hak konsumen diamanatkan dalam Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, pandemi Covid-19 seakan mengingatkan kita akan lemahnya perlindungan hak konsumen.

 

Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen juga menyebutkan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Dalam hal ini, beberapa oknum pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya, seperti menaikkan harga secara tidak wajar, yang seharusnya diberikan sanksi. Mirisnya, UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan penjelasan sanksi atas perbuatan melanggar Pasal 7 ini. Aturan di Pasal 107 UU Perdagangan juga kurang kuat, di mana hanya berlaku pada penimbun yang menghambat perdagangan.

 

Amandemen UU Perlindungan Konsumen belum cukup menarik perhatian masyarakat dan pemerintah.  UU ini bahkan belum menjadi prioritas Prolegnas tahun ini, walaupun naskah akademik sudah dipersiapkan sejak 2007 dan BPKN sudah secara aktif menyuarakan amandemen UU sejak 2011.

 

"Di masa yang akan datang, dimana tindakan eksploitatif pelaku usaha membahayakan konsumen, ditambah lagi dengan perubahan perekonomian cross-border  atau lintas batas dan digital, kita harus memikirkan bagaimana UU Perlindungan Konsumen bisa menjadi salah satu instrumen penting perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tentu harus diikuti dengan adanya perlindungan terhadap manusia yang menggerakkannya," pungkasnya. **

Reporter : Warso Sunaryo
Editor :
- Dilihat 2941 Kali
Berita Terkait

0 Comments