Daktatorial /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 20/08/2015 11:51 WIB

Agen Strom: Sosok Pengkhianat di Balik Terbunuhnya Syaikh Awlaki

Agent Storm 1
Agent Storm 1

Penulis: Yasin Muslim

DAKTA.COM:  Hingga saat ini perekrutan warga Muslim merupakan sesuatu yang tidak mudah bagi intelijen Barat. Kepolisian New York (NYPD) pernah mencoba selama beberapa dekade untuk merekrut para imigran Muslim, namun akhirnya dipermalukan oleh langkah hukum ACLU (American Civil Liberties Union) pada tahun 2013 yang membatalkan unit perekrutan mereka yang sudah dikenal oleh publik.

Unit perekrutan mereka itu bermasalah karena terbukti melakukan diskriminasi disertai pemerasan terhadap siapa saja yang diketahui memiliki nama Muslim. Biasanya mereka akan dipersulit saat mengurus sesuatu dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, termasuk dalam urusan tiket parkir.

Artikel ini merupakan resensi buku yang ditulis oleh Eric Walberg, jurnalis yang memiliki spesialisasi di bidang kajian Timur Tengah. Eric meresensi buku berjudul “Agent Storm: My Life Inside Al Qaeda and the CIA” yang ditulis oleh Morten Storm. Storm adalah agen ganda yang terlibat dengan sejumlah badan intelijen seperti CIA, MI5 dan MI6.

Sosok Storm diulas dengan baik oleh Eric Walberg terutama perannya dalam pembunuhan Syaikh Anwar Al-Awlaki, petinggi Al-Qaidah di Yaman. Erick juga mengkomparasikan antara Agen Storm, dengan agen ganda lainnya yang juga menulis buku, Omar Nasiri.

Agen Ganda I: Omar Nasiri

Operasi infiltrasi agen ganda yang dianggap paling berhasil sebelum Morten Storm adalah Omar Nasiri yang lahir sebelum tahun 1960-an. Omar Nasiri sendiri merupakan nama samaran seorang agen intel asal Maroko yang melakukan infiltrasi ke dalam tubuh al-Qaidah, dan berhasil hingga masuk ke kamp-kamp pelatihan militer (muaskar) mujahidin di Afghanistan. Ia memberikan laporan informasi ke dinas intelijen Inggris dan Perancis. Kemudian pada tahun 2006, Omar Nasiri mengungkap petualangannya itu ke dalam sebuah laporan yang menarik berbentuk buku dengan judul “Inside the Jihad: My Life with Al Qaeda A Spy’s Story”.

Menurut pengakuannya sendiri, Nasiri menawarkan “jasanya” itu bukan semata-mata untuk uang, tetapi lebih untuk mencegah kaum Islamis melakukan aksi kekerasan pasca kudeta oleh militer terhadap pemerintahan yang sah hasil pemilu yang dimenangkan oleh kelompok Islam di Aljazair pada tahun 1992.

Nasiri mengatakan, Kelompok Islam Bersenjata (GIA) sejak awal sudah bisa ditebak bahwa mereka dikendalikan oleh dinas intelijen Aljazair, dan juga, para agen provokator pada tahun 1995, yang sengaja melakukan aksi provokasi mereka supaya bisa mendorong aksi-aksi kekerasan terhadap Perancis. Hal itu dilakukan sebagai upaya menarik Paris terlibat ke dalam pusaran konflik menghadapi kelompok Islamis di satu sisi, di sisi lain bertujuan agar pemerintah Perancis mendukung “negara” Aljazair.

Nasiri mengambil kesimpulan bahwa keberadaan GIA telah merusak atau memperburuk citra perjuangan kaum Islamis yang sebenarnya, dan tiba-tiba, ia mendapati para agen dinas intelijen Inggris dan Perancis telah menjadi sekutunya (meski ia sendiri meragukan) dalam menentang elemen-elemen “para penipu culas” di dalam tubuh pemerintahan diktator militer Aljazair. Nasiri yang terpaksa menentang kelompok Wahabi dan Salafi, tidak bisa mencegah setiap serangan teroris berskala besar, namun dengan terus mengamati gerakan para jihadis di Eropa pada tahun 1990-an, ia berperan dalam membantu tugas para agen dinas intelijen dalam mengikuti jejak perekrutan.

Pernyataannya yang begitu tegas tentang motif membantu aparat keamanan Inggris dan Perancis adalah untuk mencegah terorisme, meskipun ia sendiri masih menginginkan kaum imperialis/penjajah itu supaya keluar. Hal ini pula yang ia sampaikan kepada para pengawalnya saat menjelang masa akhir tugas, dan juga, ia masih menginginkan sebuah budaya Muslim yang bermartabat yang tidak mengekor ke Barat.

Kata Nasiri, “Yang paling saya inginkan adalah menyelamatkan Islam dari berbagai dampak yang mengerikan dan dari hal-hal yang baru (bid’ah). Tindakan para perusuh dengan membeli senjata UZI-(buatan) Israel itu sangat memalukan. Tetapi, saat ini sedang terjadi sesuatu yang lebih buruk dari itu, bahwa kita sedang berperang menggunakan taktik musuh-musuh kita. Jika kita sebagai Muslim membiarkan diri kita seperti mereka, – lantas, apa yang akan anda dikatakan– dan setelah itu, tidak ada lagi yang tersisa bagi alasan untuk apa kita berperang. Inilah (bentuk) jihad saya”

Dalam siaran BBC tahun 2006, ia pernah mengatakan bahwa dinas intelijen Inggris sudah diberi peringatan pada pertengahan 1990an tentang potensi ancaman al-Qaidah, namun mereka gagal mengambil tindakan cepat. Kemudian ia berhenti dari kegiatan di dunia intelijen pada tahun 2000.

Pasca peristiwa 9/11, ia kembali menawarkan “jasanya” itu namun tidak digubris oleh dinas intelijen Jerman. Dan saat ini, ia hidup undercover dengan menggunakan nama samaran. Buku berisi laporan dan kisah petualangan yang ia tulis dan publikasikan saat menjadi agen mata-mata itu merupakan sebuah bentuk “serangan” atau dakwaan bagi kebijakan Barat di Timur Tengah dan terhadap kecerobohan birokrasi dinas intelijen.

Agen Ganda II: Morten Storm
Morten Storm adalah seorang tokoh yang menarik. Lahir pada tahun 1976 di lingkungan masyarakat kulit putih (Barat) yang bermasalah, pernah mengalami pelecehan saat usia kanak-kanak, dan bergabung dengan geng kriminal Bandidos yang ditakuti. Dengan latar belakang seperti itu, menjadikan dirinya sebagai seorang penjahat yang tangguh dan akhirnya dihukum (dipenjara) atas berbagai aksi perampokan dan kekerasan bersenjata, berpenghasilan hingga USD 10.000 per minggu dari hasil penyelundupan narkoba di Eropa.

Sebagai orang yang teralienasi secara sosial, ia berteman dengan seorang imigran Muslim. Kemudian ia masuk Islam pada tahun 1997 saat berusia 21 tahun karena terinspirasi oleh sesama tahanan bernama Sulaiman. Saat melakukan pencarian makna hidup bagi “jiwa”nya yang hilang itu, ia mengunjungi Masjid Regent’s Park yang dikelola oleh Salafi, lalu direkrut dan ditawari belajar Islam secara gratis ke Yaman.

Morten Storm mengikuti seluruh sisi doktrin pemahaman Salafi. Bahkan, ia mengaku pernah menasehati pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman, Syeikh Abdul Majid al-Zindani, dengan mengatakan, “Anda akan mengajak saya ke api neraka.”

Menurut pengakuannya, hal itu ia lakukan sejak Ikhwanul Muslimin menjadi pelaku bid’ah dengan menerima konsep pemilu dalam sistem demokrasi yang cocok dengan tujuan politik mereka. Namun, Syeikh al-Zindani adalah seorang tokoh ulama Sunni yang dikenal secara luas di Yaman, dan masuk dalam “daftar teroris” global versi Amerika sejak tahun 2004. Beliau (Syeikh al-Zindani) menjalin kontak dengan Syeikh Usmah bin Ladin dan Syeikh Anwar Awlaki.

Selanjutnya, Storm menjadi seorang militan jalanan dan melatih bela diri di London serta masuk ke lingkaran dalam ulama “radikal” yang cukup terkenal, Syeikh Omar Bakri yang pernah aktif di Hizbut Tahrir dan Al-Muhajirun di Inggris, namun kemudian ditangkap oleh otoritas Lebanon pada tahun 2010.

Kredibilitas Morten Storm yang sebenarnya meragukan karena latar belakang masa lalunya tersebut, nampaknya tidak pernah dipermasalahkan oleh “saudara-saudara” Salafinya. Namun akhirnya terbukti, bahwa keislamannya itu hanya sebatas penampilan luar. Ia kembali rindu pada kebiasaan hidup lamanya: kokain, alkohol, dan gaya hidup liar. Pada tahun 2006, Storm berhasil direkrut oleh dinas intelijen & keamanan Denmark (PET) setelah mengalami krisis keimanan. Selama masa krisis itu, ia tidak bisa menerima konsep/doktrin Salafi tentang jihad…mulai dari topik membela tanah air Islam hingga pernyataan perang terhadap orang-orang kafir.

Semenjak itu, Storm mulai sering bolak-balik Inggris-Denmark-Yaman, dan berteman dengan Syeikh Anwar Awlaki, bahkan ia ikut mengatur pernikahan beliau (Syeikh Awlaki) yang terakhir dengan seorang mualaf asal Kroasia bernama “Aminah” yang memiliki nama asli Irena Horak pada tahun 2010. Untuk itu, CIA mau membayarnya hingga 250.000 USD. Dalam memoar atau buku perjalanan hidupnya itu, dengan bangga ia menunjukkan bukti foto sebuah koper berisi penuh uang dolar. Lalu, terbukti bahwa ternyata selera hidupnya yang tinggi itu sebanding dengan (gaya) bicaranya, sehingga ia segera menjadi seorang yang begitu haus dolar. Akhirnya ia setuju akan membantu CIA membunuh “temannya” sendiri, yaitu Syeikh Anwar Awlaki karena mengharap akan bisa mengantongi hadiah USD 5 juta.

Syeikh Anwar Awlaki gugur di bulan September 2011, namun CIA tidak pernah buka suara terkait insiden tersebut. Sementara Storm sendiri memutuskan untuk membukanya ke publik melalui beberapa tulisan/artikel yang dimuat di Jyllands-Posten (koran Denmark yang pernah memuat kartun Nabi Muhammad SAW pada tahun 2005), serta mempublikasikan sebuah buku memoar – sebagaimana Omar Nasiri –, yang menyebabkan dinas intelijen berada dalam sorotan.

Namun, tidak seperti Omar Nasiri, Storm menunjukkan rasa bangganya bisa memerangi Islam. “Dalam sebuah tugas PR sekolah, anak saya Usamah memutuskan untuk membuat tema tentang diri saya…. dia (anak saya) menulis sebuah karangan/prosa dengan judul: ‘Ayahku, Sang Pahlawan’.”

Seandainya pernyataannya itu bisa dipercaya, Storm mengaku menyesal telah membunuh sahabat setianya itu. Tidak ditemukan dalam buku memoarnya satu bagian pun yang menunjukkan Syeikh Anwar Awlaki bersalah atau bertanggung jawab atas suatu serangan/operasi teroris. Bahkan beliau hidup dalam persembunyiannya, menulis untuk majalah “Inspire”, meng-enkripsi file-file, serta berusaha membantu menyediakan berbagai item baik yang bisa dipakai ataupun yang tidak bisa digunakan untuk membuat bom.

Perspektif Barat
Erickemudian mengambil kesimpulan bahwa semua peristiwa itu kelihatan samar dan tidak relevan jika dihubungkan dengan keberhasilan Daulah (ISIS) dalam enam bulan terakhir. Pada mulanya terlihat seperti sebuah optimisme yang berlebihan tentang rencana jangka panjang untuk mengalahkan al-Qaidah.

Namun kenyataannya, al-Qaidah masih tetap eksis dan tak terkalahkan, meskipun sudah dilakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota, termasuk pemimpin mereka Syeikh Usamah Bin Ladin dan Syeikh Anwar Awlaki.

“Lalu, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari buku itu?” kata Walberg menyinggung soal buku tulisan Morten Storm,.

Pertama, ketika pemahaman Islam “Wahabi” menarik perhatian bagi sebagian orang-orang Barat yang kecewa, sebenarnya komitmen mereka akan sangat mudah luntur. Latar belakang mereka sebelumnya menyebabkan pola pikir yang kaku, di mana situasi itu sangat kondusif bagi seseorang untuk terlibat terorisme, atau juga korupsi.

Selama tiga dekade terakhir, ribuan pemuda Arab Saudi memilih mati untuk memerangi penguasa monarkhi yang pro-Amerika, demikian juga ada yang berperang di Suriah dan Iraq, maupun berjuang di bawah tanah di Arab Saudi.

Orang Barat yang tidak terdidik seperti Storm, kata Walberg, akan mudah dipengaruhi oleh ceramah imam-imam Salafi, juga oleh tawaran belajar secara gratis ke Yaman, termasuk cara pandang “hitam-putih” pemahaman Wahabi, di mana hal itu merusak tatanan keilmuan dan tradisi aktifis Islam yang cinta damai.

Informasi Storm yang paling mengagetkan adalah tentang adanya surat yang berasal dari sejumlah pejabat Saudi kepada pemimpin AQAP Nasir al-Wuhaisyi pada tahun 2011, menawarkan kesepakatan: “Mereka (Saudi) akan memaafkan Wuhaisyi dan akan membantu dengan senjata dan uang dengan syarat mereka (AQAP) tidak memerangi Saudi maupun Amerika, melainkan fokus memerangi Syiah Hautsi di utara Yaman.”

Jelasnya, bagi orang Barat yang masuk Islam, konsumerisme sekuler yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan merupakan hambatan berat yang sulit dihadapi. Dalam kasus Morten Storm, di satu sisi (meskipun) mereka mengagumi Islam akan kebenarannya dan juga karena kehebatan sejarahnya, di sisi lain ia tidak mampu menghilangkan kebiasaan dan budaya lamanya.

Selama satu abad ini, sejak sekularisme Barat memegang kekuasaan, banyak pemuda Barat yang kecewa akhirnya memeluk agama-agama “Timur”, seperti: Buddha, Hindu, dan Islam. Namun Buddha dan Hindu tidak mentransformasi masyarakat melalui reformasi gerakan politik, sementara Islam sebaliknya.

“Itulah alasan mengapa seorang agen ganda seperti Omar Nasiri masih “meyakini” agamanya. Sementara, orang seperti Storm tersandung gerakan Wahabi yang “meniru” paham nihilisme anarkhi Barat,” ujar Walberg.

Sejumlah ahli strategi Barat mulai membuka diri terhadap kelompok Islamis non-kekerasan, seperti Ikhwanul Muslimin. Pada tahun 2010, Presiden Obama mengeluarkan PSD-11 (Presidential Study Directive) yang merekomendasikan untuk berhenti mendukung para rezim diktator di negara-negara Muslim, selanjutnya bekerja sama dengan gerakan-gerakan Islam politik yang “moderat”, meskipun dalam tataran tindakan sudah sejak dulu terlihat betapa lemahnya komitmen seperti itu bagi evolusi damai.

Barat saat ini sedang mencari jalan selain perang, dalam menghadapi kelompok-kelompok “ekstrimis” yang “tidak bisa dikendalikan”, dalam rangka menjaga stabilitas masyarakat terutama di dunia Islam, di mana model neo-liberalisme pasca era kolonial telah mengalami kegagalan.

Sementara para pengambil keputusan strategis lainnya, seperti atasan Storm, masih terus hidup dalam fantasi dunia “James Bond 007” dan hikayat para agen-ganda, dengan keyakinan bahwa hanya dengan cara membunuh orang-orang seperti Bin Ladin, Awlaki, dan yang lainnya itulah, Dunia Barat akan hidup bahagia selamanya.

 


 

Editor :
Sumber : Middle EastEye/kiblat.net
- Dilihat 4342 Kali
Berita Terkait

0 Comments