Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 30/03/2020 11:26 WIB

Pembebasan RIPH Untuk Impor Bawang Sangat Relevan

Bawang putih
Bawang putih
JAKARTA, DAKTA.COM - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta mengatakan, langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang membebaskan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) merupakan keputusan yang sangat relevan di masa sulit ini.
 
"Dengan meniadakan RIPH, impor bawang putih dan bawang bombay diharapkan bisa berjalan lebih cepat dan pasokan keduanya bisa segera memasok kebutuhan dan menstabilkan harga di pasar Indonesia," kata Felippa dalam keterangannya kepada Dakta, Senin (30/3).
 
Tidak hanya RIPH, menurutnya, Kemendag juga membebaskan importir dari kewajiban mengurus Surat Perizinan Impor (SPI). Terkait proses pengajuan impor, importir biasanya harus mengurus RIPH kepada Kementerian Pertanian (Kementan) yang dilanjutkan dengan pengajuan Surat Perizinan Impor (SPI) kepada Kemendag. Importir juga dibebaskan dari persyaratan laporan surveyor (LS) atas kedua komoditas tersebut. 
 
Felippa juga mendorong pemerintah untuk memperluas terobosan yang baik ini ke komoditas strategis yang lain, seperti daging sapi, jagung, kedelai, dan gula.
 
“Pembebasan RIPH, SPI, dan LS merupakan terobosan yang baik dalam penyederhanaan proses pengajuan impor produk hortikultura. Komoditas yang diimpor diharapkan bisa segera sampai dan berperan dalam menstabilkan harga di pasar. Penyederhanaan proses impor ini idealnya bisa diteruskan untuk memastikan ketersediaannya di pasar,” jelas Felippa.
 
Walaupun sempat terjadi perbedaan pendapat antara Kemendag dengan Kementan, Kementan melalui Badan Karantina sepakat untuk tetap memeriksa aspek kualitas produk hortikultura dari negara asal impor sebelum beredar di pasar Indonesia. Langkah ini, menurut Felippa, sangat perlu dilakukan untuk memastikan keamanan dan kesehatan konsumen di Tanah Air.
 
Permintaan pembebasan RIPH sebagai persyaratan impor produk hortikultura perlu dipahami oleh pemerintah secara lebih dalam. Permintaan ini, salah satunya, bersumber dari panjangnya proses birokrasi, baik di Kemendag maupun Kementan. 
 
"Kalau proses penerbitan kedua dokumen tadi bisa berjalan lebih transparan dan lebih cepat, komoditas yang diimpor diharapkan bisa masuk ke pasar Indonesia tepat waktu dan memang efektif untuk menjaga stabilitas harganya," katanya.
 
Selain itu, Felippa juga meminta pemerintah mengevaluasi kembali kewajiban menanam bawang putih untuk importir. Kewajiban menanam bawang putih sebesar 5% dari volume impor yang diajukan tidak efektif untuk mencapai target swasembada yang dicanangkan pemerintah. Realisasi dari wajib tanam juga belum sesuai dengan peraturan 5% dari volume.
 
Implementasi keharusan wajib tanam terhalang oleh kapasitas untuk mengecek kenyataan di lapangan atau memantau perkembangan penanaman. Alhasil, banyak pelaksanaan wajib tanam yang tidak sesuai dengan laporan.
 
“Importir dihadapkan pada risiko gagal panen karena keterbatasan kapasitasnya dalam menanam atau masalah cuaca dan iklim topis Indonesia yang kurang pas untuk menumbuhkan bawang putih yang berkualitas baik. Belum lagi adanya kerawanan penyalahgunaan akturan kuota impor dari RIPH yang nampak pada kasus korupsi impor bawang putih yang terjadi pada 2019 yang lalu. Potensi korupsi terjadi karena sistem RIPH yang tidak transparan,” terang Felippa.
 
Ia menjelaskan, permasalahan yang dihadapi para importir terhadap pemberlakuan RIPH, di antaranya, adalah mengenai adanya wajib tanam sebesar 5% dari volume impor yang diajukan. 
 
Padahal petani bawang putih sendiri menghadapi berbagai tantangan dalam menanam bawang putih, seperti keterbatasan ketersediaan lahan dan ketidaksesuaian iklim (bawang putih akan tumbuh baik di iklim subtropis, sementara Indonesia memiliki iklim tropis) dan ketidakmampuan importir dalam menemukan kelompok tani yang bisa merealisasikan kewajiban tanam ini. **
Reporter :
Editor :
- Dilihat 1267 Kali
Berita Terkait

0 Comments