Jum'at, 27/03/2020 10:30 WIB
Penanganan Covid-19 dan Ekonomi Nelayan yang Kian Terpuruk
JAKARTA, DAKTA.COM – Sejak Pemerintah mengumumkan adanya dua orang yang positif mengidap Covid-19 di Indonesia, pada 2 Maret 2020 lalu, hingga kini jumlah orang yang positif mengidap Covid-19 ini terus bertambah.
Dampak Covid-19 mulai merambah pada kehidupan ekonomi masyarakat. Banyak masyarakat terutama yang bergerak di ekonomi kecil mengeluhkan dampak buruk perekonomian yang turun drastis dari waktu normal. Hal sama sangat terasa pada perekonomian nelayan Indonesia.
Ekonomi Nelayan Terpuruk
Pemerintah tampak tidak mempertimbangkan aspek ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput. Ekonomi masyarakat mandek tak terkecuali juga dirasakan oleh banyak keluarga nelayan di Indonesia.
Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, nelayan terpaksa harus menjual hasil tangkapan mereka kepada masyarakat dengan harga yang sangat murah atau turun lebih dari 50 persen dari harga biasanya. Hal ini terjadi karena banyak pabrik pengolahan yang ditutup demi mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka mencegah penularan Covid-19.
Sugeng Trianto, salah seorang nelayan di Kendal menyatakan, harga ikan biasanya dibeli oleh pabrik berkisar Rp40.000/kg, kini dijual kepada masyarakat hanya berkisar Rp15.000 sampai dengan Rp20.000/kg.
Tak hanya itu, produk olahan kelompok nelayan, berupa keripik kerang yang normalnya adalah Rp15.000 kini hanya dijual Rp5000/bungkus. Kondisi ini semakin memperpanjang kesulitan yang dialami nelayan. Sebelumnya, nelayan di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Kendal baru, saja melewati musim paceklik.
“Pada saat yang sama, situasi semakin sulit dengan meningkatnya harga sembako yang dijual di pasar. Hari ini harga-harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan. Sementara pendapatan nelayan terus turun pasca massifnya penyebaran Covid-19,” tutur Sugeng.
Hal serupa terjadi di Muara Angke, Jakarta. Setelah ditetapkan sebagai episentrum Covid-19, tempat pelelangan ikan (TPI) di Muara Angke sepi dan akan ditutup sampai dengan waktu yang belum diketahui waktunya. Akibatnya, banyak nelayan di kawasan ini memutuskan untuk tidak melaut.
Menurut Rois, nelayan Muara Angke, apa yang terjadi saat ini semakin menyulitkan kehidupan nelayan, ditambah lagi dengan meningkatnya harga sembako yang dijual di pasar setelah massifnya penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta. Kondisi nelayan Muara Angke khususya gang kerang hijau sekarang semakin sulit persediaan untuk logistik harian.
“Kami harus menghitung perbedaan pemasukan dan pengeluaran yang sangat besar. Jika kami memaksakan diri untuk melaut, lebih banyak pengeluarannya daripada pemasukan dari menjual ikan. Harga ikan saat ini benar-benar jatuh. Kehidupan nelayan semakin sulit,” ungkap Rois.
Dampak kebijakan penanganan Covid-19 juga dirasakan betul oleh kelompok nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Setelah Jakarta ditetapkan sebagai episentrum Covid-19, pariwisata di Pulau Pari tutup sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Perekonomian masyarakat yang tergantung kepada pariwisata mulai melemah. Masyarakat mulai khawatir jika stok bahan pokok dan pangan utama mereka di Pulau Pari mulai menipis, karena supply mereka sangat tergantung dari Jakarta. Pada saat yang sama, penyebrangan perahu akan segara ditutup untuk mencegah penyebaran Covis-19.
Terkait dengan harga ikan, Asmania, perempuan nelayan asal Pulau Pari, menyatakan bahwa saat ini harga ikan menurun drastis. Ia menyebut harga cumi laut yang biasanya dijual Rp80.000, kini hanya Rp40.000 ribu. Sementara itu, harga cumi karang yang biasanya dijual Rp50.000 menjadi Rp20.000 saja.
“Hari ini banyak pengepul ikan yang menolak hasil tangkapan nelayan akibat ditutupnya TPI di Muara Angke tutup. Bahkan, banyak ikan yang dikembalikan lagi ke nelayan karena ikannya tidak laku dijual,” kata Asmania.
Asmania menambahkan, hari ini masih terdapat beberapa nelayan yang masih mencari ikan di laut untuk dikeringkan dan dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Namun, sudah banyak nelayan yang benar-benar tidak bisa melaut karena minimnya pemasukan dan perbekalan yang mereka miliki.
Buruknya kebijakan penanganan Covid-19 juga dirasakan oleh nelayan di Serdang Bedagai Sumatera Utara, khususnya pada wisata mangrove. Menurut Sutrisno, Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) yang juga pendiri wisata magrove di Serdang Bedagai, hari sekitar 90% pengunjung berkurang.
Demi mendukung program social distancing yang diberlakukan oleh Pemerintah, dia menutup kawasan wisata mangrove, terhitung sejak satu pekan yang lalu sampai waktu yang belum bisa ditentukan.Penutupan kawasan wisata ini berdampak kepada kehidupan nelayan dan pengelola wisata mangrove. Pendapatan menjadi menurun drastis.
Sutrisno menuturkan, mengenai harga ikan yang biasa diekspor, khususnya ke Korea Selatan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga gurita sekarang hanya Rp20.000 ribu/kg dan kepitingan atau rajungan sekitar Rp40.000/kg. “Sebelum menyebarnya Covid-19, harga gurita bisa mencapai Rp50.000/kg, sedangkan harga kepiting dan rajungan bisa mencapai Rp60.000 – 65.000/kg,” terangnya.
Menurut Sutrisno, saat ini, permasalahan yang muncul bukan pada aktivitas nelayan untuk melaut, tetapi daya beli masyarakat terhadap berbagai produk perikanan yang turun signifikan. Hal ini terjadi akibat banyaknya TPI yang ditutup dan minimnya pembeli yang keluar rumah untuk menjalankan social distancing.
Desakan untuk Pemerintah
Berbagai fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia sangat tidak mempertimbangkan aspek ekonomi kehidupan keluarga nelayan dan pelaku perikanan lainnya, yang jumlahnya lebih dari 8 juta rumah tangga.
Merespon hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa Pemerintah seharusnya memberikan prioritas untuk melindungi keluarga nelayan yang terdampak kebijakan penanganan Covid-19 dengan cara mengalokasikan secara khusus dana perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Hal ini sesuai dengan mandat Undang-undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang disahkan empat tahun yang lalu.
“Pasal 12 UU 7 Tahun 2016 memberikan sejumlah mandat kepada Pemerintah, diantaranya: memberikan perlindungan kepada nelayan berupa penyediaan prasarana usaha perikanan, memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan, serta menghapus praktik ekonomi berbiaya tinggi,” tegas Susan dalam keterangannya, Jumat (27/3).
KIARA mendesak Pemerintah untuk hadir memberikan perlindungan sekaligus pemberdayaan bagi seluruh keluarga nelayan di Indonesia yang terdampak kebijakan penangan Covid-19.
“Sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, Pemerintah Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa," jelasnya.
Koordinasi Buruk
Ia menilai, Pemerintah terlihat tidak siap dalam antisipasi dan penanganan dalam menghadapi semakin parahnya penyebaran Covid-19. Awalnya, sejumlah menteri menyangkal Covid-19 bisa masuk ke Indonesia. Namun, setelah berbagai fakta membuktikan bahwa virus ini telah masuk dan menjangkiti warga negara Indonesia.
Pemerintah mulai melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk merespon permasalahan ini. Meski demikian, koordinasi tersebut tak menghasilkan kebijakan komprehensif untuk menangani penyebaran Covid-19.
"Sampai dengan saat ini, masih terdapat kontradiksi pernyataan dari sejumlah pejabat publik mengenai kebijakan penanganan Covid-19. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, misalnya, menyebutkan bahwa kebijakan lockdown diambil kapan saja oleh setiap daerah," ucapnya.
Lima hari sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo menegaskan pemerintah tidak akan melakukan lockdown di wilayah Indonesia untuk menghindari penyebaran Covid-19.
Di dalam pidatonya yang disampaikan pada 16 Maret 2020 di Istana Bogor, Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19 ini, yaitu: social distancing dengan cara mengurangi mobilitas orang dari satu tempat ke tempat yang lain, mengurangi kerumunan orang, mendorong kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah. Dengan tegas, Jokowi menyebut bahwa Pemerintah Pusat tidak akan mengambil opsi lockdown.
Tak hanya itu, Pemerintah memutuskan untuk melakukan rapid test atau tes Covid-19 secara massif dan melakukan impor sejumlah obat yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19, diantaranya Avigan, Chlorofiguine dan Arbidol.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebut Pemerintah Indonesia tidak memiliki peta jalan (road map) kebijakan yang komprehensif untuk menyelesaikan penyebaran Covid-19 yang terus mengancam masyarakat.
“Kebijakan Pemerintah terlihat tak siap dan gagap merespon penyebaran Covid-19 ini. Pemerintah gagal mengantisipasi dampak perekonomian masyarakat di tingkat akar rumput akibat tak adanya kebijakan yang komprehensif,” pungkas Susan. **
Editor | : | |
Sumber | : | Rilis KIARA |
- KONSEP GURU MENURUT MOHAMMAD NATSIR
- Baitul Maqdis Institute Sampaikan 11 Resolusi Palestina dan Dunia Islam kepada Wakil Menlu RI, Anis Matta
- Empat Alasan Mengapa UU Pengelolaan Zakat Rugikan LAZ
- IDEAS: Dana BOS Tak Cukup Angkat Kesejahteraan Guru Honorer
- Bamsoet Minta Polri Jerat Bandar Narkoba Dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
- UMKM Pertanian-Perikanan yang Utangnya Dihapus
- Kebijakan Dan “Potensi Keuntungan”, Sepatutnya Tidak Digunakan Dalam Tindak Pidana Kerugian Keuangan Negara
- INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI HARUS BERLANJUT DENGAN PEMBENAHAN
- Nama Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
- Kampus Tak Berizin, Gelar HC Raffi Ahmad dari UIPM Terancam Tak Diakui
- Tak Skorsing Israel, MUI Sebut FIFA Berpihak kepada Genosida
- Intip Yuk Gaji Fantastis Anggota DPR RI
- Beredar “Tuyul”, “Tuak”, “Beer”, “Wine” Dapat Sertifikat Halal, MUI: Menyalahi Fatwa, Kami Tidak Bertanggung Jawab
- Kenapa Harga Beras Mahal ??? Ini Kata Presiden Jokowi
- Promo Alfamidi September 2024
0 Comments