Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 23/03/2020 11:59 WIB

Impor Pangan, Kebijakan Strategis Pemerintah Tekan Dampak Corona

Ilustrasi aktivitas pelabuhan ekspor impor
Ilustrasi aktivitas pelabuhan ekspor impor
JAKARTA, DAKTA.COM - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta menyatakan, kebijakan pemerintah yang membuka keran impor untuk komoditas pangan merupakan kebijakan yang strategis yang memang perlu dilakukan saat ini. 
 
Selain untuk menekan dampak penyebaran virus corona (Covid-19) terhadap perekonomian, kebijakan ini juga perlu dilakukan untuk memastikan ketersediaan komoditas pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri.
 
“Pembukaan Persetujuan Impor (PI) terhadap impor pangan merupakan bentuk respon pemerintah yang adaptif terhadap situasi yang terjadi belakangan ini. Ketersediaan yang memadai di pasar akan mampu menstabilkan harga. Hal ini penting supaya seluruh lapisan masyarakat bisa tetap memenuhi kebutuhan pangannya dengan harga terjangkau,” ungkap Felippa dalam keterangannya yang diterima, Senin (23/3).
 
Indonesia menerapkan berbagai kebijakan non-tariff measures (NTM) dalam perdagangan pangan. Beberapa bentuk kebijakan NTM antara lain adalah kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga dan tindakan anti persaingan. 
 
Berbagai kebijakan yang membatasi impor termasuk ke dalam NTM, termasuk persyaratan PI. Padahal, lanjut Felippa, penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena memengaruhi kualitas, kuantitas, dan harga makanan yang dikonsumsi.
 
Menurutnya, beberapa NTM diperlukan untuk melindungi konsumen. Namun banyak NTM diterapkan untuk menjadi hambatan dalam perdagangan. Padahal NTM yang menghambat perdagangan ini pada akhirnya bisa memperlambat proses pembelian barang dan proses masuknya barang. Kadang, pembelian malah dilakukan ketika harga internasional sudah mahal.
 
Beberapa komoditas pangan strategis sudah mengalami kenaikan harga sejak awal tahun 2020, bahkan sebelum diumumkannya dua pasien pertama di Tanah Air yang terinfeksi virus corona oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret yang lalu. 
 
Berdasarkan data Indeks Bulanan Rumah Tangga (BuRT) yang rutin dikeluarkan oleh CIPS, terlihat adanya peningkatan harga yang cukup tajam pada pertengahan bulan Maret.
 
Seiring dengan merebaknya pandemik covid-19 di Indonesia, harga beras masih naik sedikit dari Rp 11.520 per kilogram di akhir bulan Februari, menjadi Rp 12.800 per kilogram. 
 
Petani padi sudah menghadapi berbagai tantangan selama 2019, seperti kemarau berkepanjangan yang menyebabkan kekeringan yang membuat mereka harus menunda panen. Kenaikan harga beras seharusnya tidak terjadi jika memang jumlah pasokan sesuai dengan data pemerintah yang menyatakan pasokan beras aman hingga bulan Mei.
 
Sementara itu, harga bawang putih juga masih terus mengalami kenaikan dari Rp 49.000 per kilogram di bulan Februari meningkat tajam menjadi di kisaran Rp 74.600 di bulan Maret. 
 
Hal ini terjadi seiring dengan sedikitnya pasokan bawang putih di pasar dan keterlambatan impor. Merebaknya virus corona di China diduga menjadi salah satu keterlambatan impor karena negara ini merupakan tujuan utama impor bawang putih Indonesia.
 
Harga ayam juga merangkak naik ke rata-rata Rp41.300/kilogram di pertengahan bulan Maret dari sebelumnya Rp 34.200/kilogram di bulan Februari. Pedagang mengatakan kenaikan harga ini dikarenakan harga di tingkat peternak yang memang sudah tinggi.
 
Harga telur ayam juga ikut naik hingga dua kali lipat dari Rp 23.900/kilogram di bulan Februari menjadi sekitar Rp 47.200/kilogram di bulan Maret. 
 
Menurut para pedagang, kenaikan harga telur telah berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Mereka juga menyatakan harga telur yang tinggi sudah terjadi sejak telur berada di agen. Hal ini membuat pedagang harus menyesuaikan harga supaya tidak menanggung kerugian.
 
”Harga komoditas strategis lainnya, yaitu gula, juga meningkat tajam dari Rp 10.900/kilogram di bulan Februari lalu menjadi Rp 18.750/kilogram. Hal ini dikarenakan stok gula yang tipis dan bahkan sudah hilang di beberapa pasar. Pemerintah terlambat menyikapi hal ini dan baru membuka kemungkinan untuk impor di saat harga gula di pasar sudah tinggi,” jelas Felippa. **
Reporter :
Editor :
- Dilihat 3616 Kali
Berita Terkait

0 Comments