Opini /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 19/03/2020 10:18 WIB

Millenials Sadis Buah Sistem Kapitalis

Ilustrasi Psikopat. (FOTO/iStockphoto)
Ilustrasi Psikopat. (FOTO/iStockphoto)

DAKTA.COM - Oleh: Raihanatur Radhwa (Ibu Rumah Tangga)

 

Psikopat. Kata yang terpikir dalam benak penulis saat membaca berita seorang remaja membunuh balita. Bahkan ia mengaku puas dengan perbuatannya. Gadis berinisial NF ini menyerahkan diri kepada polisi setelah sehari warga tak dapat menemukan korban yang ternyata ia simpan di lemari. Dalam pemeriksaannya, polisi menemukan catatan dan gambar dari pelaku yang mengekspresikan kekerasan. Tanpa penyesalan, pelaku mengaku membunuh korban karena terinspirasi dari film The Slenderman.

 

Nyatanya, NF bukan satu-satunya kejahatan yang terinspirasi dari tayangan yang ditontonannya. Seorang siswi MTs dengan nama samara Putri merekayasa penculikan dirinya oleh tiga orang lelaki. Kelakuannya ini lantaran ia kesal dengan keluarganya dan terinspirasi dari FTV yang sering ditontonnya. Tahun 2017 lalu, AMR, siswa kelas 1 SMA Taruna Magelang membunuh temannya dan dengan cerdik menghilangkan jejak meniru drama serial kriminal.

 

Remaja yang baru beranjak dewasa dari masa anak-anak seharusnya masih memiliki fitrah, empati, dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Namun semua itu punah. Kebohongan, kekerasan, tawuran, pornoaksi, pergaulan bebas menggeluti dunia milenial kini. Media hanya salah satu sumber inspirasi remaja bertindak kejahatan.

 

Masih ada faktor eksternal lain yang mempengaruhi remaja berlaku menyimpang. Faktor lingkungan pergaulan tak kalah menonjol karena remaja adalah fase yang didominasi peer group. Namun, tak sedikit yang mencengangkan bahwa remaja mengenal kekerasan dari rumahnya sendiri. Karena kekerasan rumah tangga yang ia lihat dalam keseharian di rumah, bahkan ia alami sendiri membentuk mental diri yang tak seimbang.

 

Banyak pakar yang sudah mengulas fenomena fungsi media yang menyimpang saat ini. Fungsi edukasi yang menjadi awal berdirinya telah tergeser kepada fungsi bisnis. Hingga berita kejahatan yang fenomenal pun bak durian runtuh bagi media karena ulasannya akan diminati pemirsa maupun pembaca. Dengan semakin banyaknya ulasan kriminalitas seolah menjadi tutorial kejahatan itu sendiri. Bahkan acapkali kejahatan diulas sedemikian rupa hingga secara tak langsung media menggiring opini bahwa pelaku berhak mendapat empati pula dari khalayak (Sumarwan, 2017).

 

Tak hanya berita. Kriminalitas pun menjadi tema film yang digandrungi remaja. Bahkan beberapa film menghadirkan sosok pelaku kriminal sebagai tokoh utama protagonis. Menyusun alur cerita yang membawa pesan bahwa pelaku kejahatan adalah korban. Film Joker contohnya. Film ini digarap dengan menyuguhkan sosok  Joker, pelaku pembunuhan berantai kota Gotham. Sosok ini ditampilkan dalam film sebagai korban sosial. Joker yang awalnya badut panggilan yang mengalami perundungan menjelma menjadi bos kejahatan (mediaindonesia.com, 18/03/2020).

 

Gempuran tayangan dan pemberitaan yang tidak mendidik memukul nalar remaja yang belum sempurna akibat sistem pendidikan yang berorientasi akademis dan keterampilan. Keimanan, budi pekerti, moral, adab, dan akhlaq adalah nilai-nilai langka dalam dunia pendidikan sekuler. Wabah dan bencana sosial menjadi ancaman mengerikan karena gejala milenial sadis yang mengalami mental disorder makin bermunculan.

 

Media memiliki peran strategis dalam penyebaran pemikiran di tengah masyarakat. Oleh karena itu, media sebagaimana mestinya harus ditempatkan pada fungsi edukasi dan dakwah. Apa yang diberitakan oleh media adalah cermin sehat dan rusaknya masyarakat.

 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (QS. Ali ‘Imran: 110).

 

Dari ayat tersebut tergambar bahwa untuk menjadi masyarakat dan umat yang terbaik maka media harus mengambil peran menyampaikan yang ma’ruf (kebaikan) dan mengedukasi masyarakat agar menjauhi yang munkar (kejahatan). Media harus mampu menyeleksi fakta dan opini yang akan dihadirkan di tengah masyarakat.

 

Pun berkaitan dengan peredaran film yang tidak layak tonton atau butuh pendampingan orang tua harus dijalankan dengan petunjuk dan peraturan yang jelas dari negara. Negara juga menyeleksi tayangan yang beredar di dalam negeri apakah sesuai dengan nilai dan norma di tengah masyarakat mengingat negara-negara penghasil film adalah negara sekuler yang memuja kebebasan. Negara tidak boleh hanya mengandalkan kesadaran individual dalam memilih tontonan.

 

Kebijakan di bidang media dan tayangan tentu harus ditunjang dengan sistem pendidikan yang secara dini menanamkan keimanan dan ketaqwaan sebagai basis amal perbuatan. Anak didik dibentuk agar mampu memilah perbuatan berdasarkan kesesuaian dengan Al-Quran dan As-Sunah bukan sekedar mencari kepuasan dan kesenangan serta pengakuan sosial di pergaulan.

 

Pendidikan dalam Islam juga didahului dengan pengenalan adab dan akhlaq sebelum pembelajaran tentang ilmu pengetahuan. Bekal adab dan akhlaq inilah yang membentuk karakter generasi dalam berkehidupan di tengah masyarakat.

 

Tentu saja kebijakan media dan sistem pendidikan semacam ini tidak akan didapati di dalam sistem pendidikan kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan. Dalam ideologi kapitalisme, berita dan pendidikan adalah komoditas hingga mengesampingkan aspek agama, adab dan akhlaq. Sekarang juga kita wajib mengakhiri ideologi sekuler kapitalisme yang mencengkeram kehidupan. Jika tidak kesehatan mental generasi kita akan tergadaikan. **

 

Editor :
Sumber : Raihanatur Radhwa
- Dilihat 3074 Kali
Berita Terkait

0 Comments