Opini /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 10/03/2020 15:12 WIB

​Urgensi Pendidikan Pemilih Berkelanjutan

Ilustrasi mencoblos
Ilustrasi mencoblos

DAKTA.COM – Oleh: Dhany Wahab Habieby, Komisioner KPU Kabupaten Bekasi

 

Pada bulan September 2020 akan kembali digelar pemilihan serentak di 270 daerah, setelah berlangsungnya pemilihan umum serentak 2019. Pada tahun ini, Komisi Pemilihan Umum  (KPU) mencanangkan program pendidikan pemilih berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilih dan demokrasi di Tanah Air.

 

Pendidikan pemilih berkelanjutan merupakan investasi jangka panjang yang penting untuk terus dilakukan. Khususnya bagi pemilih pemula, yang baru pertama kali menggunakan hak poliknya dalam pemilu atau pemilihan.

 

Pemilihan 2020 diproyeksikan melibatkan 105 juta lebih pemilih, termasuk pemilih pemula yang baru berumur 17 tahun pada 23 September 2020 atau saat hari pencoblosan. Sementara data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019 yang masuk dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4).

 

Pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat mempunyai peran yang sangat sentral dalam pelaksanaan demokrasi elektoral. Terlepas dari banyak hal yang mempengaruhinya, tetapi yang pasti pada saat seorang pemilih berada di bilik suara, ia memiliki kebebasan dan otoritas untuk memutuskan pilihannya. Proses pemberian suara yang durasinya tidak lebih dari lima menit sangat kruisial agar pemilih bisa menentukan pilihannya secara cerdas dan rasional.

 

Pendidilkan pemilih sudah seharusnya dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun sebagai bagian dari perningkatan kesadaran warga negara akan hak politiknhya. Selama ini yang terjadi, masyarakat sering mendapatkan informasi seputar pemilu dan para kandidat, hanya dalam kurun waktu setahun menjelang diselenggarakanya pemilu.

 

Sejatinya partai politik mempunyai kewajiban untuk memberikan pemahaman kepada konstituennya secara kontinyu, namun karena alasan terbatasnya pendanaan, seringkali parpol hanya melakukannya pada masa-masa kampanye atau saat injury time.

 

Berkaca dari praktik pemilu dimasa orde reformasi yang kental tersa justeru liberalisasi politik, ditandai dengan lahirnya beragam partai politik dalam waktu yang relatif singkat. Pembentukan partai politik seakan-akan menjadi alasan utama para politisi membangun kualitas demokrasi.

 

Padahal dalam masa transisi demokrasi saat ini yang terjadi kekuasaan terbagi ke berbagai pusat kekuasaan baru, praktik korupsi semakin menyebar, regulasi dan institusi semakin menguat, merajalelanya praktik suap, pemotongan anggaran, pemerasan dan korupsi dilakukan sejak perencanaan (ICW, 2020)

 

Fenomena tersebut yang menyebabkan munculnya apatisme politik ditengah masyarakat, menurunnya kepercayaan publik kepada partai politik dan penyelenggara negara. Jika hal ini tidak dapat diatasi dengan baik, maka bisa berdampak kepada keraguan masyarakat. Apakah praktik demokrasi yang dijalankan dalam bernegara dapat menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh warga bangsa?

 

Begitu pentingnya peran pemilih dalam praktik demokrasi elektoral, sehingga satu suara dari manapun berasal, apakah itu dari rakyat jelata atau kalangan pajabat, akan sangat menentukan masa depan bangsa. Dalam kontek seperti ini, pendidikan pemilih berkelanjutan menjadi sangat relevan dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia dan indeks demokrasi di Indonesia.

 

Undang-undang nomor 7 tahun 2017 pasal 198 ayat 1 menyebutkan, warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.

 

Ketentuan ini yang seharusnya menjadi patokan dalam merumuskan sasaran pemilih untuk melakukan edukasi politik secara berkelanjutan. Setiap warga negara yang mempunyai hak pilih harus mendapatkan informasi dan pengetahuan secara memadai sehingga pada saat menggunakan hak politiknya dilandasi dengan rasa tanggung jawab dan cinta tanah air.

 

Model pendidikan pemilih berkelanjutkan bisa dilakukan dengan melibatkan unsur lembaga pendidikan, perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan kelompok komunitas. Semakin banyak pihak yang terlibat tentu akan memberikan dampak positif bagi pendewasaan politik masyarakat. Materi yang disampaikan meliputi prinsip-prinsip demokrasi, kewarganegaraan, sejarah pemilu di Indonesia dan praktik pemilu yang paling mutakhir.

 

Bagi kalangan pemilih pemula menjadi sangat urgen untuk ditanamkan sikap perilaku anti politik uang sejak dini, agar mereka bisa menjadi generasi baru yang mengutamakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam berpolitik di masa depan. Secara garis besar pendidikan pemilih berkelanjutan akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis, maju dan modern.

 

Pertama, Pendidikan pemilih akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan. Pemilih yang sadar akan kewajiban dan haknya sebagai warga negara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dalam menentukan pemimpin dan wakilnya di semua tingkatan. Partisipasi pemilih menjadi indikator kesuksesan pemilu, partisipasi yang tinggi juga akan menjadikan hasil pemilu lebih legitimate.

 

Kedua, Pendidikan pemilih sesungguhnya bisa menjadi sarana pembekalan calon penyelenggara pemilu, yang akan bertugas mulai dari tingkat KPPS, PPS, PPK dan seterusnya. Pemilih yang tercerahkan akan mempunyai kepedulian untuk memantau dengan sungguh-sungguh dalam proses pemilu secara berjenjang. Memiliki keberanian untuk mengawasi setiap tahapan pemilu dan memastikan semuanya dilaksanakan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

 

Ketiga, Pendidikan pemilih meningkatkan rasionalitas dan daya kritis masyarakat terhadap kontestan ataupun kandidat pemimpin di setiap tingkatan. Publik tidak serta merta percaya begitu saja dengan janji-janji kampanye yang dilontarkan oleh peserta pemilu. Pemilih yang rasional akan menjadikan rekam jejak dan integritas kandidat sebagai preferensi untuk menentukan pilihannya.

 

Keempat, Pendidikan pemilih menjadi gerakan kolektif anti korupsi dan anti politik uang yang biasanya muncul seiring dengan berlangsungnya pemilu atau pemilihan. Ancaman terbesar dalam demokrasi adalah praktik jual beli suara yang pada akhirnya akan berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan publik. Demokrasi yang tergadai karena ketidak mandirian pemilih dalam menetukan sikap politiknya akan menjadikan pemilu hanya sekedar formal procedural.

 

Kelima, Pendidikan pemilih untuk menyadarkan masyarakat bahwa proses penyelenggaraan negara diawali dengan pemenuhan kedaulatan rakyat. Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap masa depan negara dan bangsa. Negara yang tergadai berawal dari ketidak pedulian warga dalam proses politik, terlebih jika sebagai pemilih malah bersikap pragmatis dengan memperdagangkan hak pilihnya pada setiap hajatan demokrasi lima tahunan. **

Editor :
Sumber : Dhany Wahab Habieby
- Dilihat 1987 Kali
Berita Terkait

0 Comments