Nasional /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 28/02/2020 10:16 WIB

KH. Fadzlan Garamatan: Jangan Sematkan Umat dengan Stigma Sinis

tokoh ulama dari Fak fak, Papua Barat, KH. Fadzlan Garamatan
tokoh ulama dari Fak fak, Papua Barat, KH. Fadzlan Garamatan
BANGKA BELITUNG, DAKTA,COM - Sikap tegas ditunjukkan tokoh ulama dari Fak fak, Papua Barat, KH. Fadzlan Garamatan (UFG) dalam sidang pleno pembuka di hari kedua berlangsungnya Kongres Umat Islam Indonesia (KUII)-VII, Kamis, 27 Februari 2020 di Ballroom Novotel, Pangkal Pinang, Bangka-Belitung.
 
Dalam sesi diskusi sekaligus tanya-jawab yang menghadirkan pemakalah KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag, sebagai narasumber pengganti KH. Said Agil Shiradj selaku Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tidak hadir, UFG terpaksa meminta narasumber untuk menyudahi pemaparannya menjelang akhir sesi.
 
Pasalnya, ungkap UFG, dalam membacakan makalahnya narasumber banyak menyebut istilah dan labelisasi, serta stigma yang menyudutkan sesama ormas Islam sendiri. Bahkan, Rais Syuriah PBNU itu, dengan nada cenderung membela, menceritakan alasannya ketika diminta menjadi “saksi ahli yang meringankan” mantan Gubernur DKI yang saat itu didakwa sebagai pelaku “penista agama”. 
 
Dalam kesempatan tanya-jawab itu, UFG sudah beberapa kali meminta ke arah pimpinan pleno, untuk menginterupsi pemaparan argumentasi narasumber, namun tidak diakomodir.
 
Akhirnya ia terpaksa berkata lantang dari arah belakang ruang sidang, agar sesi pemaparan disudahi dan argumentasi narasumber tidak perlu dilanjutkan lagi. Lantaran sangat berpotensi “memanaskan suasana” ruang pleno di pagi hari itu.
 
Sebelumnya, seorang peserta yang mengaku dari ormas Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), juga sudah meminta klarifikasi kepada narasumber, kenapa dalam paparan makalahnya dengan menyebut nama MMI dan ormas Islam lainnya, seperti FPI (Front Pembela Islam), dengan labelisasi yang tendensius. Seperti istilah ‘Islam Radikal’, ‘Islam Fundamental’, ‘Islam Garis Keras’, dan lainnya. 
 
Setelah sesi diskusi ditutup pimpinan pleno beberapa menit kemudian, UFG pun menjelaskan kepada wartawan tentang sikap tegasnya itu. Menurut ulama yang juga menjabat Sekretaris di Komitre Dakwah Khusus (KDK) MUI Pusat, tidak sepantasnya narasumber beragumentasi dengan narasi yang bernada sinis dan tendensius terhadap sesama ormas Islam.
 
“Apalagi sampai menceritakan dirinya ikut membela seorang pelaku penista agama,” katanya. Pasalnya, selain kasus tersebut sudah berlalu dan perkaranya sudah berketetatapan hukum tetap di persidangan.
 
Selain itu, nama “sang penista agama” juga masih tergolong sensitif di telinga sebagian besar peserta kongres. Terbukti, saat UFG meminta agar sesi tersebut disudahi, mayoritas para peserta pun bertepuk tangan mendukung “interupsi tegas” UFG.
 
Ulama yang selalu berpernampilan khas dengan jubah kharismatik dan sorban imamahnya ini pun menjelaskan, sejatinya dirinya tidak sedang marah saat bersuara keras dari arah belakang  ruang pleno, saat menjelang diskusi berakhir.
 
“Sejatinya saya tidak marah. Memang beginilah gaya orang Papua bicara. Sebenarnya saya hanya ingin bersikap tegas terhadap semua narasi-narasi yang cenderung membangkitkan emosi umat dan berpotensi memecah belah antar sesama umat Islam,” jelasnya.
 
Sebab, lanjut ulama bergelar “Ustadz Sabun Mandi’ lantaran pernah mengislamkan sekaligus 12.372 orang warga asli Papua di Kab. Wamena, tidak banyak orang di Nusantara ini yang mengalami langsung kerasnya tantangan berdakwah di pedalaman hutan belantara. Agar orang-orang suku pedalaman Nuu Waar (Papua) mau menerima hidayah Islam untuk mengenal nama Allah dan Rasulnya.
 
“Sampai sekarang saya masih berusaha merangkul mereka dalam cahaya Islam dengan pendekatan sosial-budaya dengan biaya yang tidak sedikit,” katanya. “Lalu tiba-tiba ada pihak yang mengaku ustadz dan ulama di perkotaan, dengan mudahnya ingin memecah-belah mereka dengan narasi dan labelisasi yang cenderung menyesatkan umat. 
 
Karenanya, UFG pun menegaskan, agar nilai spirit kebersatuan umat Islam, harus terus dinarasikan di tengah forum kongres ini. 
 
"Jadikan selalu konsep kebersatuan umat Islam, sebagai landasan pemikiran para nara sumber juga peserta, di dalam menyampaikan narasi pemikirannya,” tambahnya.
 
Jangan sampai, lanjut Pengasuh Ponpes Nuu Waar yang membina para santri khusus asal Papua secara gratis ini, di kongres ini ada narasumber yang narasi serta bangunan argumentasinya, justru ingin memecah-belah umat.
 
“Apalagi dengan istilah dan stigma negatif terhadap kelompok sesama Islam yang seakidah,” tandas UFG.
 
Karena, menurutnya, narasi sinis yang sangat tendensius kepada ormas di luar organisasinya, hanya akan melahirkan pengkotak-kotakkan sesama umat Islam sendiri. 
 
“Ini jelas akan membangun pontesi konflik di masa depan. Lantas, kapan kita bisa maju kalau begini terus!” tandas UFG. (Syifa)
Editor :
Sumber : Radio Dakta
- Dilihat 723 Kali
Berita Terkait

0 Comments