Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 28/07/2015 07:11 WIB
Ada Apa Dengan GIDI dan Israel (2)

Inspirasi Zionis Israel

Kios kios di Tolikara di cat dengan lambang bintang david foto Hidayatullah   Copy
Kios kios di Tolikara di cat dengan lambang bintang david foto Hidayatullah Copy

         


            Sungguh tak terbayangkan bagi warga Palestina, setelah lebih dari 900 tahun mendiami negerinya, suatu ketika tanah air mereka direbut secara paksa oleh kaum Zionis Yahudi. Mereka diusir, diteror, dibantai, dan dilarang kembali ke tanah airnya, hingga kini. Negara Israel (The Jewish State), merupakan buah dari gerakan Zionisme politik yang dipelopori oleh Theodore Herzl. Kaum Zionis ini mencatut nama “Israel” yang sebenarnya merupakan nama kehormatan Nabi Ya’qub a.s. Maka, saat disebut nama “Israel”, yang dimaksud bukanlah nama Ya’qub a.s. tetapi nama negara penjajah dan rasis bernama Israel.


            Negara yang diproklamasikan pada 14 Mei 1948 ini dibangun dengan mengeksploitiasi teks-teks keagamaan Yahudi tentang hak-hak teologis dan historis bangsa Yahudi atas wilayah Palestina. Teks resmi pemerintah Israel, mencatat: "The establishment of Israel (1948) grew out of their 2,000 year-old dream to return to their ancestral homeland and revive its national life and sovereignty". (Hirsch, Facts about Israel, 1986)


            Mungkin, yang tak banyak dicermati adalah strategi Herzl dalam menggolkan terwujudnya negara Yahudi (Der Judenstaat) yang dicitakannya. Gagasan negara Yahudi bukan barang baru. Para pemikir Zionis sebelumnya, seperti Leon Pinsker, Rabbi Alkalai, dan sebagainya, telah meluncurkan gagasan perlunya "negara tersendiri" bagi bangsa Yahudi, untuk menyelamatkan mereka dari aksi-aksi penindasan di Eropa. Namun, melalui bukunya, Der Judenstaat (1896), Herzl mampu merumuskan gagasan dan strateginya dengan jitu.
           

             Shlomo Avineri dalam bukunya The Making of Modern Zionism (1981), mencatat bahwa sukses Herzl dalam mendirikan negara Yahudi disebabkan ia menguasai benar tiga senjata terpenting abad ke-20, yaitu (1) media massa, (2) lobi, dan (3) public relation. Herzl  selalu berhubungan dengan orang-orang top yang berada di puncak kekuasaan atau berpengaruh di masyarakat. Dalam rangka merebut pengaruh, Herzl melakukan audiensi dengan Paus di Roma, Kaisar Wilhelm di Jerman, dengan Ratu Victoria di Inggris, atau dengan Sultan Turki di Istambul. Ia pun memobilisasi dana hari Moses Hess atau Baron de Rotschild di London. Selain itu, setiap cabang gerakan Zionis di berbagai penjuru dunia selalu ia anjurkan agar menerbitkan koran atau majalah untuk menyuarakan perjuangan mereka. Herzl sukses mengantarkan Zionisme menjadi ideologi yang semula kurang diterima di kalangan masyarakat Yahudi dan juga mesyarakat internasional, menjadi satu kekuatan yang mampu merebut Palestina dari tangan Arab.


            Segera setelah Kongres Zionis Pertama di Basel Swis, 1897, berakhir, Herzl membuat catatan dalam buku hariannya, bahwa di Basel itulah sebenarnya sebuah negara Yahudi telah berdiri. "If I were to sum up the Basle Congress in one word -- which I shall not do openly -- it would be this: at Basle I founded the Jewish State. If I were to say to this today, I would be met by universal laughter. In five years, perhaps and certainly in fifty, everyone will see it. The state is already founded, in essence, in the will of the people of the state." (Peretz&Doron, The Government and Politics of Israel, 1997:17-18)


            Praktiknya, apa yang kemudian dilakukan kaum Zionis di Palestina pasca Deklarasi Balfour (1917) seperti menjiplak teori "Zionisme Revisionis" yang dipelopori oleh Vladimir Jabotinsky (1880-1940). Pemikiri Zionis Gideon Shimoni mencatat Jabotinsky sebagai seorang penulis dan orator yang brilian dan kharismatis, yang dibesarkan di lingkungan Yahudi Rusia. Tulisannya berjudul "The Iron Wall" (Tembok Besi), yang diluncurkan pada 4 November 1923, bisa dikatakan sebagai esai dasar bagi seluruh gerakan Zionis. Ia mengemukakan secara tegas premis-premis esensial Zionisme yang telah diletakkan sebelumnya oleh Herzl, Weizmann, atau tokoh Zionis lainnya, meskipun tidak secara jelas.
          

     Gagasan Jabotinsky bersifat sangat realistis, dengan memandang Zionisme politik sebagai suatu imperialisme, sehingga mustahil terjadi kerjasama atau rekonsiliasi antara Yahudi dengan Arab, sehingga harus dipersiapkan kekuatan. Kata Jabotinsky: "Tidak akan ada pembahasan tentang rekonsiliasi sukarela antara kita dengan orang-orang Arab. Tidak untuk sekarang dan tidak untuk di masa datang. Semua orang yang berakal sehat, kecuali mereka yang buta sejak lahir, sejak lama telah memahami kemustahilan untuk bisa mencapai suatu kesepakatan sukarela dengan bangsa Arab Palestina bagi pengubahan Palestina dari sebuah negeri Arab menjadi sebuah negeri dengan mayoritas Yahudi. Masing-masing dari kalian memiliki pemahaman umum tentang sejarah kolonisasi. Coba temukan satu contoh dimana kolonisasi sebuah negeri terjadi dengan persetujuan penduduk asli. Peristiwa semacam itu tidak akan pernah terjadi."
       

     Semua kolonisasi, menurut Jabotinsky, harus selalu menentang kehendak penduduk pribumi. Karena itu, hal ini hanya bisa berlanjut dan berkembang di bawah kekangan paksaan yang berbentuk tembok besi, dan dengan cara ini masyarakat pribumi tidak akan bisa menembusnya. Jabotinsky menolak tuduhan bahwa gagasan semacam itu merupakan tindakan yang tidak etis. Itulah etika yang harus dijalankan oleh kaum Zionis jika ingin sukses dalam menduduki Palestina. Tidak masalah apakah dilakukan dengan paksaan dan kekerasan.
"Paksaan harus memainkan perannya, dengan segala kekuatan dan tanpa keengganan," tegas Jabotinsky. (Schoenman, 1998:46)
         

   Jadi, dengan "segala cara" mulai penggalangan opini publik internasional, penggalangan dana, lobi-lobi politik, sampai cara-cara teror dan kekejian, digunakan oleh kaum Zionis dalam mewujudkan sebuah "negara Yahudi" di Palestina. Dalam bukunya, A Hidden History of Zionism, Schoenman bahkan mencatat cara-cara biadab yang digunakan oleh kaum Zionis dalam mewujudkan cita-citanya. Misalnya, kolaborasi tokoh-tokoh Zionis dengan tokoh-tokoh Nazi dalam mengorbankan jutaan warga Yahudi dalam peristiwa holocaust (pembantaian sekitar 6 juta warga Yahudi Jerman oleh Nazi), demi meraih simpati internasional dan legalisasi pembantaian dan pengusiran warga Palestina. Dengan cara-cara seperti itu, bangsa Yahudi berhasil membangun citra (image) bahwa mereka adalah kaum tertindas dan teraniaya. Di lapangan, kaum Zionis membentuk organisasi-irganisasi para-militer bawah tanah -- seperti Haganah, Stern, dan Irgun -- yang melakukan teror, pembantaian, dan pengusiran terhadap warga Palestina.
         

     Jadi, dengan menggabungkan potensi-potensi "power" -- ekonomi, lobi internasional, senjata, dan jaringan organisasi yang kuat -- kaum Zionis berhasil menguasai Palestina, sekalipun mereka bukan warga mayoritas. Ketika Deklarasi Balfour dikeluarkan (1917) -- yang berisi dukungan Inggris terhadap pendirian negara Yahudi di Palestina -- jumlah orang Yahudi di Palestina adalah 56.000 orang, tidak sampai 10 persen dari jumlah orang Palestina yang 644.000 orang. Menjelang pembagian wilayah Palestina oleh PBB, 1947, jumlah orang Yahudi sudah mencapai 608.225. Sedangkan orang Palestina mencapai 1.237.332 orang. (Findley, 1993:5-6).
          

  Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil dari warga Palestina (minoritas) tersebut, kaum Yahudi berhasil memaksakan -- melalui tangan AS -- keluarnya Resolusi MU PBB No 181, pada 29 November 1947. Isinya berupa pembagian wilayah Palestina menjadi tiga bagian, yaitu (1) 57 persen untuk Yahudi, (2) 42 persen untuk Palestina, dan (3) zona internasional (Jerusalem).
        

     Resolusi yang tidak adil itu tentu saja ditolak oleh Palestina dan Dunia Islam, yang ketika itu sudah berhasil dipecah belah menjadi negara-negara Arab nasionalis. Namun, mereka tidak berdaya menghadapi Yahudi. Tahun 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya, dan terus mencaplok wilayah-wilayah Palestina yang bukan haknya -- sesuai Resolusi MU PBB 181. Tahun 1949, Israel sudah mencaplok 80 persen wilayah Palestina. Ironisnya, PBB mengesahkan pencaplokan Israel, dan menerimanya sebagai anggota pada 11 Mei 1949.
           

Setelah itu, pada 5 Desember 1949, Israel mencaplok Jerusalem yang sebenarnya menjadi wilayah internasional. Pada 11 Desember, PBB menegaskan, bahwa Jerusalem adalah zona internasional, tetapi tidak digubris oleh Israel, hingga kini. Tahun 1967, setelah Perang Enam Hari, Israel menguasai 100 persen wilayah Palestina, dan juga mencaplok Jerusalem Timur.


            Resolusi PBB 242 yang memerintahkan Israel keluar dari wilayah pendudukan tahun 1967 (sekitar 20 persen wilayah Palestina) juga tidak digubris oleh Israel. PBB juga tidak berbuat apa-apa. Hingga kini, Israel tetap menolak hukum internasional (Resolusi 242, 338, dan 194), dan menolak menyerahkan wilayah yang didudukinya tahun 1967, termasuk Jerusalem Timur. Dunia internasional pun bungkam.


            Apa artinya? Dalam mewujudkan cita-citanya, kaum Zionis berpikir (menggunakan) ideologi yang jelas, realistis, dan strategis. Mereka himpun berbagai "power", baik "economic power", "military power", "strategic power", maupun "information power". Di hadapan kelompok minoritas yang menggenggam berbagai "power" semacam itu, mayoritas kaum Muslim Palestina tidak berdaya. Apalagi, kekuatan utama (aqidah) kaum Muslim Palestina sudah diporakporandakan melalui penyebaran paham-paham yang melemahkan dan menyesatkan seperti sekularisme, pluralisme agama, materialisme, dan sejenisnya.


            Kisah sukses Zionis Israel itu bisa jadi turut mengilhami gerakan kelompok kevangelis/fundamentalis di Indonesia untuk mengkristenkan Indonesia, melanjutkan misi penjajahan selama ratusan tahun lalu. Dalam sebuah buku berjudul: Kami Mengalami Yesus di Bandung (Jakarta: Metanoia Publishing, 2011), disebutkan bahwa saat ini telah muncul anak-anak muda Kristen yang “dibangkitkan untuk mengikut Tuhan secara radikal.” (hal. 23). Mereka memiliki sikap RADIKAL dalam berbagai aspek, diantaranya adalah “Radikal dalam Memberitakan Injil”.  Banyak anak muda mendatangi taman-taman kota di Bandung, tempat para gelandangan, pencuri, dan bahkan tempat-tempat rawan seperti markas para perampok berkumpul untuk memberitakan Kabar Baik kepada mereka. Bertahun-tahun tempat-tempat seperti ini terus dilayani secara teratur oleh anak-anak muda yang sudah diubahkan oleh Kristus. RADIKALISME kaum Kristen di Indonesia ini juga diwujudkan, antara lain, dalam puisi berikut:

 

“Slamatkan Indonesia”

Trimakasih Tuhan untuk negeri tercinta

Trimakasih Tuhan untuk Indonesia

Trimakasih

Hatiku bersyukur padaMu Tuhanku

Indonesia membutuhkanMu Yesus

Indonesia nantikan curahan RohMu

Indonesia rindu kemuliaanMu

Inilah doaku…

Inilah doaku…

Slamatkan Indonesia, slamatkan Indonesia,

Slamatkan Indonesia

Itulah kerinduanku.

 

            Itulah semangat, tujuan, dan program kaum Kristen radikal di Indonesia, yang secara nyata bekerjasama dengan Zionis Israel. Kini, ditunggu oleh dunia: apa jawaban kaum Muslim Indonesia?  Sudah saatnya, kaum Muslim Indonesia tidak terbuai dengan kemayoritasannya. Sejarah membuktikan, kelompok kecil yang cerdas, kuat, dan militan, akan mengungguli kelompok mayoritas. Itu yang dilakukan oleh Zionis Israel dalam menjajah dan mengusir jutaan warga Palestina.

 

Dalam KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-10 di Kuala Lumpur (16/10/2003), PM Malaysia Mahathir Muhammad, mengajak umat Islam untuk berpikir, bagaimana mengalahkan Yahudi. Ia katakan, “The European killed six million Jews out of 12 million. But today the Jews rule this world by proxy.”   Yahudi berkuasa dengan menggunakan tangan orang lain, terutama negara-negara besar. Dalam pidatonya, Mahathir juga menekankan, agar umat Islam belajar dari sejarah Yahudi. Bagaimana bangsa kecil yang mengalami penindasan selama 2000 tahun ini, berhasil survive dan bahkan kemudian menjadi salah satu kekuatan dunia (world power).  Yahudi selamat dan bangkit lagi lebih karena menggunakan “otak”, dan bukan hanya mengandalkan kekuatan fisik. “Muslims were up against people who think; people who survived 2000 years of pogroms not by hitting back, but by thinking.” Begitu pesan Mahathir.

            Dan Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan umatnya: “Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, dirimu, dan lidahmu!” (HR  Abu Dawud, Nasai, Ahmad).

Editor :
Sumber : Adian Husaini
- Dilihat 5072 Kali
Berita Terkait

0 Comments