Tugas Pemerintah Pasca Penyerangan Umat Islam di Tolikara
Tugas pemerintah pasca penyerangan umat Islam di Tolikara, Papua, pada 1 Syawal 1436 H/17 Juli 2015, yang berbuntut pada pembakaran masjid Baitul Muttaqin dan kios-kios milik umat Islam, adalah:
Pertama, memulihkan situasi di Tolikara, dengan membangun kembali masjid, rumah dan kios yang dibakar perusuh. Pemulihan disini termasuk didalamnya memberikan jaminan kepada warga muslim untuk melaksanakan ibadah, mengumandangkan suara azan, memakai simbol-simbol Islam, serta mencabut larangan mendirikan rumah ibadah termasuk masjid dan musollah.
Kedua, menangkap dan mengadili dan hukuman para pelaku kerusuhan secara adi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sebab jika ini terus berlarut-larut akan dapat memperdalam rasa sakit hati umat Islam, karena selama ini umat Islam telah dizalimi, diperlakuan tak adil dengan stigma teroris. Pemerintah dalam hal ini Densus 88, selalu bertindak cepat dan tegas bahkan melampaui batas kewajaran jika menindak teroris yang notabene adalah aktifis Islam.
Ketiga, mengusut tuntas soal pengecatan rumah-rumah penduduk dengan warna biru putih serta gambar bintang david yang menjadi lambang negara Israel, termasuk pengibaran bendera Israel. Pengusutan ini dinilai sangat penting. Sebab Indonesia dengan Israel tak memiliki hubungan diplomatik. Oleh karena itu pengibaran bendera asing tanpa izin pemerintah adalah pelanggaran hukum. Pemerintah harus mengusut tuntas kasus ini siapa yang memerintahkan, dan apa tujuan pengibaran bendera Israel tersebut. Apalagi ada unsur pemaksaan kepada warga untuk melakukan pengecetan dan pengibaran bendera Israel. Jika ada warga yang tak mematuhi akan didenda Rp 500 ribu.
Keempat pemerintah harus mengusut dan menyelidiki keterlibatan asing atas penyerangan umat Islam saat melaksanakan shalat idul fitri. Badan Intelijen Negara (BIN) harus cepat bekerja untuk mendapatkan informasi yang valid atas keterlibatan asing di Tolikara. Tidak menutup kemungkinan kegiatan-kegiatan Gereja Injili di Indonesia (GIDI), punya agenda desintegrasi yang bekerjasama dengan asing.
Kelima, pemerintah harus mengusut tuntas tentang Peraturan daeraah (Perda), di Tolikara yang melarang pendirian masjid, melarang azan, dan pemakaian simbol-simbol Islam. Jika betul itu Perda, Kemendagri harus segera mencabut Perda tersebut karena tak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan dan perundang-undangan. Tak boleh ada negara dalam negara.
Dengan melaksanakan lima langkah tersebut diharapkan luka umat Islam akibat penyerangan jemaat Gidi terhadap umat Islam disaat shalat indul Fitri di Tolikara, tak sampai melebar ke daerah lain. Sebab jika langkah pemerintah lamban menangani kasus ini tak menutup kemungkinan ada kelompok umat Islam yang dapat membalas aksi yang dilakukan GIDI. Jika itu terjadi akan susah melakukan pemulihan dan bisa jadi akan mengancam NKRI. “Jangan sampai hal itu terjadi”***
Editor | : | |
Sumber | : | Ulil Albab |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments