Wajah Jaksa Agung ke Depan
DAKTA.COM - Oleh: Windu Wijaya, SH, MH advokat, peneliti hukum pada Pusat Studi Filsafat Hukum
"Jaksa Agung pasti bukan dari parpol," ujar Presiden Jokowi. Pernyataan ini memberi dua makna. Pertama, Jaksa Agung HM Prasetyo akan diganti. Kedua, penggantinya berasal dari non parpol. Ini artinya Presiden Jokowi akan mengubah desain kepemimpinan di tubuh Kejaksaan RI dari sebelumnya berlatar belakang partai politik menjadi non parpol.
Sebagaimana diketahui, sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung, HM Prasetyo mulanya adalah seorang politisi Partai Nasdem. Penunjukan Jaksa Agung yang berasal dari parpol sudah jauh hari dikritik oleh berbagai kalangan. Alasannya, Jaksa Agung yang memiliki latar belakang parpol bukan saja akan mempertebal persepsi negatif publik terhadap kejaksaan, tetapi juga berpotensi lembaga penegak hukum dibajak oleh kekuatan politik tertentu.
Karena itu, lewat pernyataan Presiden Jokowi yang mengungkap kriteria Jaksa Agung ke depan bukan dari parpol patut disambut gembira karena telah memberikan gairah baru dalam penegakan hukum. Namun begitu, selain Jaksa Agung tidak berlatar belakang parpol, adakah hal lain yang harus dipertimbangkan dalam memilih siapa yang tepat dan dipercaya untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan di tubuh kejaksaan?
Peran Strategis
Banyak pihak yang mengincar posisi Jaksa Agung. Lembaga ini sangat memiliki peran strategis. Tak hanya berfungsi sebagai filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, kejaksaan juga berperan sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, tepatlah bila lembaga hukum yang menganut doktrin Satya Adhi Wicaksana ini disebut sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis).
Karena kewenangan yang besar tersebut, tak mengherankan bila lembaga kejaksaan pun berpotensi menjadi tempat akses dan relasi antara politik, ekonomi, dan hukum berlangsung. Akibatnya, kemandirian hukum hanya sebatas angan-angan sebab dalam praktiknya penegakan hukum telah dicampuri oleh kepentingan yang justru bertentangan dengan keadilan.
Ya. Begitulah realitas hukumnya. Intervensi individu, kepentingan ekonomi, dan pengaruh politik telah menjadi masalah dasar yang menjadi penyebab tidak terciptanya kemandirian hukum sehingga berdampak pada gagalnya pembenahan dan pembaharuan di lembaga penegak hukum tak terkecuali pada tubuh kejaksaan. Lantas, apa solusi untuk mengatasi masalah tersebut?
Syarat Etis
''Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden," begitulah bunyi Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan RI). Norma hukum ini memberikan hak hukum bagi Presiden Jokowi untuk memilih secara bebas siapa yang akan dipilih untuk menjadi orang nomor satu di Kejaksaan.
Selanjutnya, pedoman legal bagi Presiden dalam memilih Jaksa Agung telah diatur pula dalam Pasal 20 UU Kejaksaan RI sebagai syarat hukum untuk dapat diangkat sebagai Jaksa Agung. Namun begitu, apakah hanya syarat yuridis semata yang harus dipenuhi? Tidakkah ada syarat etis di samping syarat yuridis yang juga seharusnya dijadikan pertimbangan dalam memilih siapa yang tepat dan dipercaya menjalankan amanah sebagai Jaksa Agung?
Wajah Jaksa Agung ke depan haruslah dipandang publik sebagai Jaksa Agung yang bebas dari segala pengaruh negatif persona, ekonomi, dan politik. Karena itu, tidak cukup hanya memilih Jaksa Agung yang tidak berlatar belakang dari parpol, tetapi perlu syarat etis lainnya yang patut dipertimbangkan.
Pertama, cerdas. Kita butuh Jaksa Agung yang cerdas. Untuk mengetahui kualitas akal hukum seorang Jaksa Agung tentu tidak dapat diukur hanya melalui ijazah sarjana hukum sebagaimana yang di syaratkan secara yuridis. Pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta gagasannya untuk memperbaiki lembaga kejaksaan menjadi penting untuk ditimbang.
Kedua, berani. Bila Jaksa Agung cerdas, tapi penakut juga tak bermanfaat bagi penanganan kasus-kasus hukum yang melibatkan para elite. Sebab itu di samping cerdas, Jaksa Agung haruslah seorang pemberani. Maksudnya Jaksa Agung tak punya rasa takut saat menuntaskan perkara-perkara kelas kakap. Hal ini pernah dicontohkan oleh Jaksa Agung Baharuddin Lopa dalam menyidik keterlibatan nama-nama besar dalam kasus korupsi. Lopa berani dan ia bertekad melanjutkan penyidikan kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.
Ketiga, sederhana. Kata sederhana ini tak pula kita temui dalam teks yuridik tentang syarat pengangkatan Jaksa Agung. Wajar, sebab sederhana atau tidaknya seorang pejabat negara merupakan persoalan etis bukan persoalan yuridis. Jaksa Agung berperilaku sederhana ini lebih dilandasi oleh filosofi dan cara berpikir benar bahwa jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan untuk menambang keuntungan finansial. Jabatan Jaksa Agung merupakan pengabdian untuk mengabdi kepada keadilan bukan kepada keuangan.
Mengapa syarat etis ini perlu dipertimbangkan oleh Presiden di samping syarat yuridis? Sebab UU Kejaksaan RI tidak sungguh-sungguh merumuskan syarat pengangkatan Jaksa Agung yang mampu melahirkan Jaksa Agung yang luhur. Apakah Presiden Jokowi akan mempertimbangkan syarat etis ini? Biarlah waktu yang membuktikan. Setidaknya Presiden Jokowi harus tahu bahwa cerdas, berani, dan sederhana adalah wajah Jaksa Agung ke depan yang hendak dipandang oleh rakyat Indonesia.
Editor | : | |
Sumber | : | Windu Wijaya |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments