Mengurai Benang Kusut Defisit Migas
DAKTA.COM - Hafidz Arfandi peneliti ekonomi di Institute Harkat Negeri (IHN)
Indonesia telah menikmati surplus perdagangan migas sejak pertengahan 70-an, bahkan hingga pertengahan 80-an migas menyumbang hampir 2/3 dari total penerimaan pajak. Seiring dengan laju pertumbuhan konsumsi domestik, maka terjadi shift pada 2004 di mana konsumsi minyak nasional telah mencapai 1,3 juta bph sedangkan produksinya justru turun ke kisaran 1,1 juta bph. Tren penurunan produksi sebenarnya sudah terindikasi sejak awal 1990-an, saat produksi minyak tidak dapat lagi melampaui titik tertinggi pada 1991 di kisaran 1,7 juta bph.
Pada awal 2000-an produksi terus merosot hingga pada 2018 hanya bertahan di kisaran 780 ribu bph. Padahal pada era ini terjadi kenaikan harga minyak dunia hingga puncaknya pada pertengahan 2008 sempat menyentuh 140 dolar AS per barel. Artinya, permasalahan produksi minyak bukan disebabkan lesunya harga tetapi justru akibat lambannya inisiatif eksplorasi pada periode sebelumnya. Maka wajar, selisih antara produksi dan konsumsi minyak kini berada di kisaran 850-900 ribu bph dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi 5% per tahun.
Di sisi lain, pemanfaatannya gas masih sangat minim dengan serapan konsumsi domestik hanya 58,5% dari total produksi yang mencapai 7,619 MMSCFD. Maka, gas masih diandalkan sebagai pendulang devisa, yang pada Semester I-2019 menyumbangkan surplus sebesar 1,9 miliar dolar AS. Meski sejak 2011 trennya terus merosot dari 21,6 miliar dolar AS menjadi 7,5 miliar dolar AS pada 2018.
Strategi Impor
Kebutuhan BBM mau tidak mau harus dipenuhi dengan strategi impor, tetapi bagaimana strategi perdagangan migas yang paling ideal? Belakangan pemerintah mendorong pemanfaatan minyak mentah untuk kebutuhan domestik dibanding mengandalkannya sebagai pendulang devisa. Strategi ini terbukti berhasil menurunkan volume impor minyak mentah Semester I-2019 (yoy) hingga 3,5 juta ton sehingga nilainya turun hingga 1,9 miliar dolar AS. Meski demikian ekspornya pun ikut menurun sebesar 1,8 miliar dolar AS. Langkah ini terbukti hanya mampu menekan biaya pengangkutan migas yang diperkirakan 5-8% dari total nilai, tetapi tidak secara signifikan memperbaiki neraca perdagangan.
Perubahan signifikan terhadap defisit migas agaknya membutuhkan solusi jangka panjang dengan tiga prasyarat kunci, Pertama, realisasi pembangunan dan pengembangan kilang yang dicanangkan selesai pada 2025 dengan kapasitas total 2 juta bph. Kedua, menekan konsumsi BBM pada pembangkit listrik PLN yang pada 2025 ditargetkan tersisa 0,4%. Ketiga, pemberian insentif untuk pengalihan sumber energi lainnya, seperti pemanfaatan gas dan juga optimalisasi pemanfaatan listrik bagi industri dan sarana pengangkutan massal.
Langkah Taktis
Sembari menunggu realisasi kebijakan di atas, pemerintah perlu mulai memikirkan skenario kebijakan untuk mengantisipasi fluktuasi harga migas pada masa mendatang, mengingat faktor harga memiliki dampak yang signifikan pada transaksi berjalan maupun fiskal.
Ada dua langkah taktis yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mendorong insentif untuk investasi di sektor hulu terutama terkait aktivitas eksplorasi sumber-sumber baru. Hal ini membutuhkan keseriusan mengingat aktivitas eksplorasi merupakan salah satu aktivitas high cost dan high risk dalam bisnis migas sehingga akan sangat tidak menarik di tengah harga yang masih relatif rendah serta permintaan dunia yang tumbuh lamban.
Namun, eksplorasi adalah kunci untuk mempertahankan tambahan cadangan terbukti serta upaya untuk mempertahankan produksi migas di masa depan. Pemerintah perlu secara rasional meminimalisasi beban perpajakan untuk aktivitas ini, meski berdampak pada penerimaan negara di masa sekarang tetapi menjadi investasi tak langsung untuk mengamankan perekonomian dalam jangka panjang. Harapannya ketika terjadi lonjakan harga migas, kita sudah lebih siap untuk menggenjot produksi.
Kedua, mengefektifkan peran hulu Pertamina. Untuk itu pemerintah perlu memperkuat peran diplomasi dan kerja sama bilateral dengan negara-negara penghasil minyak untuk mendorong keterlibatan Pertamina dalam proses eksplorasi dan produksi migas di sumber-sumber potensial. Skenario ini untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam mencari pasokan minyak mentah di tengah pasar komoditas minyak dunia yang oligopolis.
Penguatan peran Pertamina hanya dapat terealisasi jika pemerintah secara rasional mulai mengefisienkan kinerja korporasi dengan membagi peran sektor hilir pada swasta. Sektor hilir memiliki kerumitan tersendiri terutama mengingat marjinnya yang dikontrol oleh kebijakan penetapan batas atas harga yang ditetapkan 10% serta kewajiban menjaga stok yang tentunya membutuhkan biaya besar.
Pertamina setidaknya membutuhkan 6,3 miliar dolar AS untuk mengamankan stok selama 40 hari dengan penguasaan pasar hingga 85% dari total pemenuhan kebutuhan pasokan BBM nasional. Beban yang harus ditanggung Pertamina untuk membiayai aktivitas hilir (pokok penjualan, termasuk di dalamnya penjualan produk hulu domestik) mencapai 42,78 miliar dolar AS pada 2018, atau 10 kali lipat lebih dibanding beban produksi hulu dan lifting yang ada di kisaran 4,3 miliar dolar AS bahkan eksplorasi hanya bernilai 268 juta dolar AS. Maka wajar kalau Pertamina meski mencatatkan hingga 2,6 miliar dolar AS, tetapi sulit untuk bergerak lebih ekspansif.
Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan road map sektor hilir yang menjamin adanya kepastian hukum dan tata niaga yang lebih fair, tentunya dengan instrumen harga yang lebih rasional meski faktor daya beli masyarakat mutlak harus dipertimbangkan. Dengan road map tersebut diharapkan akan menarik investasi di sektor hilir tidak hanya pada SPBU, tapi juga pada terminal penyimpanan, jaringan distribusi, dan bahkan kilang swasta yang nantinya akan membantu mengubah posisi bisnis hilir yang sampai saat ini sekadar melayani konsumsi menjadi pendulang nilai tambah untuk merebut pangsa ekspor di kawasan.
Peran swasta sangat dimungkinkan terutama untuk pemenuhan kebutuhan di pasar perkotaan yang terus tumbuh. Namun, bukan berarti pemerintah harus lepas tangan. Prioritas pada penyaluran BBM bersubsidi juga perlu untuk memberikan stimulus perekonomian khususnya transportasi publik, pengangkutan logistik, pengangkutan di pedesaan dan nelayan. Namun, cara penyaluran PSO ini bisa melalui proses tender yang lebih kompetitif, bukan dengan membebankan biaya pada Pertamina saja.
Di sinilah tantangan besar yang dihadapi pemerintah jilid kedua Presiden Jokowi untuk berani mengambil langkah instrumental dalam memperbaiki fondasi sektor migas dibanding sekedar melakukan kebijakan-kebijakan reaktif belaka. **
Editor | : | |
Sumber | : | Hafidz Arfandi |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments