Program / Ensiklopedia Islam /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 24/07/2019 19:10 WIB

Asbabul Jahiliyyah (Sebab-sebab Munculnya Kejahiliyahan)

Ilustrasi Masyarakat Jahiliyyah
Ilustrasi Masyarakat Jahiliyyah

BEKASI, DAKTA.COM - Diantara sebab-sebab munculnya kejahiliyyahan pada suatu masyarakat, ialah:

Pertama, dzannus su-i billah (asumsi/sangkaan-sangkaan yang buruk kepada Allah). Mereka memiliki pengetahuan tentang Allah Ta’ala namun hanya berdasarkan sangkaan semata dan tidak berdasarkan ilmu dan petunjuk yang benar.

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus, ayat ke-36)

Diantara contoh sangkaan-sangkaan buruk mereka kepada Allah Ta’ala adalah mereka menyangka bahwa Allah Ta’ala membutuhkan sekutu,

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar, ayat ke- 3)

Mereka pun menyangka bahwa para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah sehingga mereka pun menyembahnya.


“Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS. An-Najm, ayat ke- 19 – 23)

Berawal dari sangkaan-sangkaan buruk kepada Allah Ta’ala yang tak berdasar itu, lahirlah sangkaan-sangkaan buruk lainnya. Diantaranya adalah mereka berprasangka buruk kepada agama Allah dan rasul-Nya.

“dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS. Al-Fath, ayat ke-6)

Syaikh Wahbah Zuhaili berkata tentang ayat ini, “Allah menjelaskan bahwa Allah mengadzab orang-orang munafik baik laki-laki maupun perempuan, laki-laki musyrik maupun perempuan yang mereka dengki kepada orang-orang yang beriman dan yang mereka menyerang kaum muslimin, dan yang mereka menyangka dengan sangkaan buruk kepada Allah yang bahwasanya mereka menganggap bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, tidak juga meninggikan kalimat-Nya, dan Allah menjadikan pengikut kebenaran di atas pengikut kebathilan.”

Kedua, al-istighna (merasa cukup). Sehingga tidak merasa butuh dan perlu kepada hidayah Allah Ta’ala.

Mereka bersikap melampaui batas dan sombong di hadapan ayat-ayat Tuhannya; tidak mau mendengar dan memikirkannya. Mereka merasa telah mapan dan nyaman dengan apa yang ada di sekelilingnya karena memiliki kekayaan dan harta.

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena Dia melihat dirinya serba cukup.” (QS Al-‘Alaq, ayat ke- 6 dan 7)

Mereka berkilah ketika diseru kepada Islam,

“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab: ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah, ayat ke-104)

Ketiga, al-istikbar (kesombongan). Merasa diri besar sehingga menolak kebenaran seraya melecehkan orang lain.

Inilah ideologi Iblis yang merasa diri lebih baik dari Adam, sehingga berani menyelisihi dan membangkang kepada perintah Allah azza wa jalla untuk bersujud kepadanya,

“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Menjawab iblis, ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’”. (QS. Al-A’raf, 7: 12)

Inilah ideologi Fir’aun dan para pengikutnya, mereka mengingkari bukti-bukti kekuasaan Allah Ta’ala yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ‘alaihis salam karena mereka saat itu bisa melakukan apa saja dan merasa lebih tinggi dibanding utusan-Nya itu.

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An-Naml, 27: 14).

Inilah ideologi kafir musyrikin pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berpaling dari seruan Al-Qur’an karena memandang ajaran nenek moyangnya lebih baik dari ajaran Islam, padahal mereka belum memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Sikap mereka hanya didasari fanatisme dan keangkuhan belaka.

“Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.” (QS. Shad, 38: 2)

Dalam Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI dijelaskan, “Sekalipun mengetahui kedudukan Al-Qur’an, tetapi orang-orang yang kafir tetap dalam kesombongan mereka dengan mengingkari wahyu dan menampakkan permusuhan terhadap rasulullah dan ajaran yang di-sampaikannya. Mereka berbuat demikian salah satunya karena mereka menilai ajaran nabi mengancam eksistensi agama nenek moyang mereka dan patung sesembahan mereka.” [4]

Sedangkan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkomentar, “Sesungguhnya orang-orang kafir dalam ketinggian yang menipu, yaitu kesombongan dan permusuhan serta pertikaian yang sengit.”

Keempat, rahbaniyatul mubtada’ah (sistem kerahiban/kependetaan yang diada-adakan).

Hal ini terutama terjadi kepada kalangan nasrani. Mereka menjadikan rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah Ta’ala yang berhak menetapkan hukum halal dan haram tanpa merujuk kepada hukum-hukum-Nya. Mereka mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah; dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan-Nya.

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah, 9: 31)

Adiy bin Hatim -seorang Nasrani yang kemudian masuk Islam pada masa Rasulullah-mengomentari ayat di atas dengan mengatakan: “Mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib.” Rasulullah kemudian menjawabnya,

“Betul. Tetapi bukankah mereka orang-orang ‘alim dan para rahib itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka (pengikutnya) mengikutinya? Demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir)

Sistem kerahiban dan kependetaan seperti ini menggiring mereka kepada kejahiliyyahan dan semakin menjauhkan mereka dari ajaran yang benar.

Kelima, al-ahwa (hawa nafsu) yang diperturutkan.

Allah Ta’ala menjelaskan ahlul ahwa tersebut dengan firman-Nya,

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah, 45: 23)

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili  menjelaskan ayat ini, “Allah menelantarkannya, tidak membimbingnya menuju pengetahuan yang benar dan memilihkan kesesatan untuknya serta mengunci pendengaran dan hatinya sehingga dia tidak mendengar bimbingan yang bermanfaat baginya, tidak dapat berpikir dan memahami petunjuk. Dia juga menjadikan penglihatannya tertutup sehingga tidak dapat melihat suatu tuntunan. Lalu siapa yang akan menunjukkan dan membimbingnya setelah Allah menyesatkannya? Apakah kalian tidak mengambil pelajaran? Kata man adalah isim istifham yang berfungsi sebagai nafi. Maknanya adalah tidak ada satupun yang menunjukkannya. Maka sebaiknya kita merenung sampai kita benar-benar mengetahui hakikat suatu keadaan. Maqatil berkata: ‘Ayat ini diturunkan untuk Harits bin Qays As-Sahmiy yang merupakan salah satu orang yang mengolok-olok, karena dia menyembah sesuatu sesuai hawa nafsunya’. Sa’id bin Jabir berkata: ‘Ayat ini diturunkan untuk kaum Quraisy yang terkadang menyembah batu. Jika mereka menemukan sesuatu yang lebih baik, mereka mengabaikan sesuatu yang pertama dan menyembah yang akhir. Adapun orang yang dikunci pendengaran dan hatinya adalah Abu Jahal.’”[6]

Mereka berbuat dalam agamanya sesuai dengan hawa nafsunya, tidaklah dia menginginkan sesuatu melainkan akan melampiaskannya tanpa memandang rasa cinta dari Allah dan keridhaan-Nya atau kebencian dan kemurkaan-Nya.

Perilaku seperti itulah yang membuat mereka tenggelam dalam kejahiliyyahan.

Keenam, at-taqalid (mengikuti—tradisi, adat kebiasaan, ajaran—dengan fanatisme buta).

Di point sebelumnya telah dijelaskan bahwa jika mereka diseru kepada Islam, mereka segera menolak tanpa mau memikirkannya terlebih dahulu seraya menyombongkan diri dan taqlid kepada tradisi, adat kebiasaan, dan ajaran yang mereka dapati dari nenek moyang,

“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab: ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah, 5: 104)

Allah Ta’ala mengingatkan orang-orang yang berperilaku seperti itu dengan penghisaban yang akan terjadi kepada mereka di akhirat kelak,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra, 17: 36).


Wallahu A'lam Bishawab

Editor :
Sumber : Tarbawiyah.com
- Dilihat 5252 Kali
Berita Terkait

0 Comments