Ahad, 14/07/2019 13:27 WIB
Sutopo, Fatwa Nestapa, dan Bahasa Air Mata
DAKTA.COM - Oleh: Yudhiarma MK, Manajer Humas BAZNAS
Selamat jalan Pak Topo. Itulah kalimat yang beberapa hari ini, menghiasi media massa dan media sosial. Nama yang selalu identik dengan informasi-informasi mutakhir tentang kebencanaan.
Dr Sutopo Purwo Nugroho, M.Si., APU, adalah Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat (Pusdatin dan Humas) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Setelah bergelut selama 19 bulan melawan penyakit kanker paru, ia pun mengembuskan napas terakhir pada Ahad, 7 Juli 2019, di Guangzhou, Cina. Dalam beberapa tahun terakhir, bencana demi bencana tak henti mendera anak-anak bangsa. Gempa Lombok, likuefaksi dan tsunami Palu, Sulteng dan Carita, Banten, banjir bandang, gunung meletus, dan sebagainya.
Tangis pilu menyebar ke mana-mana, mengalir bak arus panjang yang menjelma menjadi samudera air mata. Nurani kemanusiaan kita bergetar hebat menyaksikan parade malaikat maut menjemput ruh-ruh yang meninggalkan jasad-jasad tanpa nyawa.
Monumen-monumen jasmaniah ini menjadi saksi, Allah SWT telah mengundang para kekasihnya lewat pintu-pintu kematian nan menyayat. Maka tak salah, bila dalam merespons info musibah di berbagai wilayah, ibu-ibu menangis, anak-anak menangis, petani menangis, nelayan menangis, pegawai menangis, para wakil rakyat, menteri dan presiden serta calon presiden dan para pendukungnya pun menangis.
Pemuka dan umat beragama, serentak melafalkan doa. Kematian massal telah menjadi nasihat bagi kehidupan universal kita. Rangkaian nestapa telah berfatwa bahwa hakikat hidup adalah upaya “memaknai kematian”.
Air mata adalah salah satu peranti biologis yang berfungsi sebagai petanda ketika mengalami luapan atau tekanan psikologis. Dalam menyikapi nestapa, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang secara otomatis menggunakan bahasa air mata. Dan Pak Topo sangat memahaminya. Ada beberapa sudut pandang sosio-psikologis tentang hal ini.
Pertama, air mata adalah media untuk mengungkapkan egoisme individu. Seseorang menangis karena kebetulan yang menjadi korban adalah keluarga, kerabat, sahabat atau orang dekatnya. Tangis semacam ini muncul dari rasa kerugian jiwa secara pribadi, dan tak akan muncul bila yang menjadi subyek nestapa adalah “orang lain”.
Kedua, terkadang air mata sebagai bahasa sense of ethnicity atau sense of nationality. Komunikasi jiwa dengan sensitivitas etnis dan nasionalisme ini masih belum sempurna mengungkapkan prinsip-prinsip humanisme universal. Sebab, terkadang kerap disusupi political interest (kepentingan politik). Tangis-tangis muncul di arena yang terkotak-kotak. Duka lara masih dibatasi garis demarkasi ideologi, ras dan antargolongan.
Ketiga, air mata sebagai ungkapan sense of humanity. Rasa kemanusiaan inilah yang diharapkan dapat menyatukan umat manusia di muka bumi untuk merespons berbagai petaka yang terjadi dan bersama-sama menanggulangi dan membantu para korbannya.
Namun sense of humanity saja ternyata tak cukup. Seperti ditulis Sulfikar Amir (Kompas, 7 September 2009), pada titik ini apa yang dilontarkan sosiolog Jerman Ulrich Beck menjadi sangat relevan. Menurut Beck, konsekuensi perkembangan sains dan industri adalah kemunculan seperangkat risiko dan bahaya yang tidak pernah dialami manusia sebelumnya. Budaya masyarakat modern yang konsumtif dan eksploitatif telah melahirkan suatu masyarakat yang hidup dalam risiko (risk society) bencana.
Melihat kenyataan tersebut, di sini perlu fungsi keempat dari media bernama bahasa air mata, yakni apa yang disebut sebagai “rasa kebertuhanan”. Dalam perspektif tasawuf, seorang manusia dikatakan sempurna (insan kamil) bila berhasil mencapai posisi wahdat al-wujud: penyatuan hakikat diri dengan sifat-sifat ilahiah (ketuhanan).
Atau, konsep kebatinan Jawa menerjemahkannya dalam pola unifikasi, manunggaling kawula-gusti. Dalam etimologi lain, ini didefinisikan sebagai maqam ma’rifat: di mana seseorang memiliki kemampuan “melihat”, memahami dan merasakan “kebertuhanan” eksis dalam dirinya. Sebab, di “altar” paling sakral tersebut, setiap langkah insan kamil selalu berada dalam bimbingan Tuhan. “Maka Aku akan menjadi mata bagi penglihatannya, menjadi telinga bagi pendengarannya dan menjadi lidah dalam setiap perkataannya.” Demikian firman Allah SWT dalam sebuah hadis qudsi.
Artinya, segala gerak, perilaku dan perbuatan “manusia sempurna” dikawal oleh Kemahasucian-Nya sebagaimana terungkap dalam 99 nama-nama indah (asma al-husna) semisal Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Quddus (Maha Suci), As-Salam (Maha Damai), dan seterusnya.
Dalam kisah-kisah panjang, realitas sejarah telah mencatat keagungan citra komunitas spiritualis-humanis sejati. Sejak Abu Dzar al-Ghifari yang mangkat dalam lapar akibat memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, Jalaluddin Rumi yang selalu merindukan “kematian indah” dengan sajak-sajak Matsnawi dan tarian religius Maulawi, Mahatma Ghandi yang antikekerasan, Rabindranath Tagore yang membangun “sufisme” lewat syair sampai Bunda Teresa yang wafat di pangkuan tangis kaum papa.
Tak sakadar egoisme individu, nasionalisme dan sense of humanity, rasa kebertuhanan membawa manusia ke puncak ekstasi spiritual tertinggi sebagai penjaga kelestarian jagat raya. Sebab, Allah SWT adalah subjek suprauniversal yang mengisi segenap dimensi ruang dan waktu.
Kembali meminjam terminologi sufisme, seseorang yang memiliki rasa kebertuhanan adalah mereka yang larut dalam “cinta kasih kosmos” yang menyebarkan anugerah bagi alam semesta. Dengan kata lain, tak ada lagi sekat ruang, jarak dan waktu, semua lebur dalam rahmat Sang Khalik.
Inilah yang tampak pada sosok Sutopo. Beragam cerita positif keluar dari orang-orang yang mencintai dan mengagumi kiprah dan pengabdiannya pada tugas-tugas kemanusiaan.
Dia dikenang dalam bingkai cerita yang indah. Dari Presiden di Istana sampai pesinden dan wong cilik lainnya di tengah-tengah rakyat jelata. Bahkan alam pun menghiasi catatan akhir hidupnya. Seperti kejadian aneh di liang lahatnya yang ditulis Tribunsolo.com, mengutip para penggali kubur almarhum.
Laporan yang diposting, Senin, 8 Juli 2019 ini pun menjadi viral. Para pekerja pemakaman mengaku mengalami kejadian aneh. Mereka mengaku sangat mudah mencangkul tanah yang biasa memakan waktu empat jam, bahkan kadang sehari. Dan ini hanya dua jam.
"Mungkin saking baiknya almarhum Pak Sutopo," ujar Suwarto (56 tahun) usai menuntaskan tugasnya di TPU Sasonoloyo, Jl. Perintis Kemerdekaan, Boyolali, Jawa Tegnah itu.
Kepala BNPB, Letjen (TNI) Doni Monardo menilai, Pak Topo adalah pahlawan kemanusiaan. Karena ia mampu menangkap fatwa nestapa dan membaca dan merespons dengan jelas, tegas dan ikhlas bahasa-bahasa air mata. Sehingga wajar bila kita sangat berharap, kelak akan dan harus lahir Sutopo-Sutopo muda dambaan bangsa. Amin ya Rab-‘alamin.**
Editor | : | |
Sumber | : | Yudhiarma MK |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments