Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 09/07/2015 10:12 WIB

Azyumardi Azra: Istilah Islam Nusantara Tak Valid

Majelis Kemisan di rumah dinas  Menteri Agama   Copy
Majelis Kemisan di rumah dinas Menteri Agama Copy

DALAM diskusi Majelis Kemisan yang bertajuk “Islam Nusantara” di rumah dinas Menteri Agama, di Komplek Widya Chandra, Jakarta Selatan, Selasa (7/7/2015) malam, hadir sejumlah narasumber seperti Ulil Abshar Abdallah (JIL), Dr. Fahmi Salim Zubair, dan Prof. Azyumardi Azra (mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).  

Majelis Kemisan edisi perdana bermula dari Majelis Reboan yang ketika itu menghadirkan narsum seperti Abdurrahman Wahid, Muslim Abdurrahman, Nurcholish Madjid dan sebagainya. Setelah vakum selama 10 tahun, Majelis Reboan berganti menjadi Majelis Kemisan.

Ketika menyampaikan pandangannya, Azyumardi Azra pernah ditanya, apakah Islam Nusantara itu valid atau tidak? Atau apakah islam itu satu? Atau apakah ada Islam Aceh, Minang, Sunda dan sebagainya?

Dikatakan Azra, secara doktrin dan praksis, serta ranah budaya Islam, umat Islam di Indonesia tidak monolitik alias beragam, berbeda-beda. Ada yang menggunakan pendekatan akademis (para ahli) dan ada pula yang secara ideologis disikapi dengan emosional, terutama di kalangan aktivis islam.

“Secara doktrin, dan pada level Al Quran, Islam itu satu. Artinya tidak ada pertikaian atau khilafiyah bahwa islam itu agama wahyu. Namun ketika menafsirkan ayat-ayat mutasayabihat, masing-masing ulama berbeda pandangan. Jika yang datang dari wahyu tidak bisa diubah, sedangkan fiqih bisa berubah. Itulah sebabnya, perlu dirumuskan juklak dan juknisnya. Sehingga muncul beberapa mazhab dalam berijtihad dan menetapkan hukum beda.

Menurut Azra, ortodoksi Islam Indonesia dengan Islam Arab itu berbeda. Kalau Indonesia menggunakan jumhur ulama. Sedangkan hanya dua  ortodoksi, yakni: Salafi dan Wahabi. Fiqih yang digunakan Saudi menganut mazhab Hambali. Sedangkan aspek tasawuf dianggap bidah dan khurafat. Itulah sebabnya, buku-buku al-Ghazali dilarang masuk ke Saudi.
Laporkan iklan?

“Dan tentunya ortodoksi Islam di al Jazair, Pakistan, Bangladesh juga tidak seragam. Walau menggunakan beberapa mazhab yang ada tetap sah. Yang jelas terjadi keragaman dalam beri-Islam atau berijtihad. Adapun Wahabi tidak punya prospek di Indonesia, ” ujar Azra.

Menurut pria lulusan Universitas Columbia itu, setiap wilayah punya perbedaan dalam menerapkan ajaran Islam di negaranya. “Setiap wilayah punya distingsi Islam karena sistem sosialnya berbeda-beda,” pungkas Azra.

Azra membagi hingga delapan ranah Islam berdasarkan faktor-faktor sosiologi, budaya, dan tradisi sosial, yakni ranah islam Arab, Irak atau Persia, Turki, anak benua India (Pakistan, Bangladesh, India), Nusantara, Sino Islamic, Sudanic Africa, dan terakhir western islamic.

Islam Nusantara Tidak Valid

Islam Nusantara dinilai Azyumardi Azra sebagai istilah yang tidak valid. Alasannyanya, istilah islam nusantara yang digunakan sebelum Perang Dunia (PD) kedua itu meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam, wilayah selatan Filipina Selatan, dan selatan Thailand. “Istilah islam nusantara enggak valid sekarang kecuali nusantara kita batasi Indonesia saja,” kata Azra.

Setelah PD kedua usai, penerapan ajaran Islam di negara tersebut berbeda-beda. “Pasca Perang Dunia kedua karakter islam di Indonesia dan Malaysia berbeda sekali. Di Malaysia, Islam menjadi agama resmi negara. Sehingga jika merujuk pada historisnya, seharusnya tidak ada lagi penggunaan istilah islam nusantara. Lebih tepatnya, istilah tersebut diubah menjadi Islam Indonesia,” jelasnya.

Jadi, istilah yang valid adalah Islam Indonesia, bukan mencakup Malaysia Islam. Terlepas dari tepat tidaknya penggunaan istilah Islam nusantara. Kemunculan kembali istilah nusantara pun memunculkan berbagai perdebatan. Apakah Islam itu satu atau malah beragam.

Menurut Azra, Islam Indonesia adalah Islam Flowery atau Islam yang berbunga-bunga alias beragam. Wajah Islam Indonesia adalah wajah Islam yang tersenyum, toleran, akomodatif dan inklusif. Islam Indonesia melekat dalam budaya, sehingga tak bisa dipisahkan. “Maka banggalah menjadi muslim-muslimah Indonesia, dimana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. (Desastian)

Editor :
Sumber : Islampos.com
- Dilihat 2597 Kali
Berita Terkait

0 Comments