Bekasi /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 01/02/2019 14:18 WIB

Aspek Indonesia Beberkan Persoalan Ketenagakerjaan

Ilustrasi pekerja
Ilustrasi pekerja
BEKASI, DAKTA.COM - Persoalan tenaga kerja di Indonesia sepertinya tidak pernah selesai, bahkan menurut data dari tahun ke tahun semakin parah saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
 
Hal itu dikatakan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat dalam Bincang Publik di Radio Dakta, Jumat (2/1).
 
Ia mengatakan, banyak persoalan terkait ketenagakerjaan di Indonesia diantaranya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor seperti farmasi, logistik, penutupan ritel, dan sebagainya.
 
"Hampir sekitar 50 ribu pekerja di PHK massal dari tahun 2015-2018. Sebanyak 200 ritel tutup yang mengakibatkan sekitar 1.500 ribu yang di PHK karenanya," ungkapnya.
 
Selain PHK massal, sistem tenaga kontrak, outsourcing, dan tenaga magang juga merupakan persoalan yang kompleks di Indonesia.
 
"Tenaga magang, menurut analisa kami, misalnya seorang anak lulusan SMA atau universitas disuruh magang dengan waktu 8 jam selama enam bulanan, tidak dikasih upah hanya honor dan tidak mendapat jaminan sosial, tetapi pekerjaannya layaknya seperti pegawai. Itu sama saja seperti kerja romusa zaman sekarang," katanya.
 
Menurut Mirah, persoalan tenaga kerja asing (TKA) Cina dari data yang ia punya tahun 2015-2016 ada 20 ribu pekerja Cina ilegal yang masuk ke Indonesia.
 
"Bahkan mirisnya pekerjaan yang mereka TKA lakukan bisa dikerjakan oleh anak bangsa, kesenjangan gaji yang didapat juga sangat berbeda," bebernya.
 
Ia menjelaskan, awal persoalan komplek terkait ekonomi di Indonesia dari upah murah yang diterima buruh sehingga mereka tidak mampu membeli barang-barang yang mengakibatkan daya beli menurun, akhirnya sektor ritel kecil maupun besar pada tutup, dan banyak pegawai yang terkena PHK.
 
"Sebenernya masalahnya seperti itu, maka pemerintah seharusnya melihat dengan jeli dan mengambil kebijakan yang benar," katanya.
 
Untuk menyelesaikan persoalan di atas, pemerintah harus menggunakan kekuasaannya sebagai pemimpin agar mengambil kebijakan yang pro terhadap rakyat.
 
"Solusinya perlu keleluasaan hati dan kepedulian pemimpin, jadikan kekuasaan itu untuk membantu orang-orang," terangnya. **
Editor :
Sumber : Radio Dakta
- Dilihat 896 Kali
Berita Terkait

0 Comments