Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 20/01/2019 10:08 WIB

Prostitusi Serta Logika Hukumnya

Bisnis Prostitusi online
Bisnis Prostitusi online

DAKTA.COM - Oleh: Ninik Rahayu, Pimpinan Ombudsman RI 

 

Kasus prostitusi online (daring) yang kini ramai diperbincangkan di dunia maya, mengingatkan kita pada peristiwa yang sama pada Desember 2015. Bedanya, kasus yang satu ini mendapatkan atensi publik yang lebih meriah.

 

Terutama, dengan kehadiran aneka jenis meme berbentuk candaan. Mengapa demikian? Alasan yang paling bisa diterima karena semakin canggihnya teknologi dan semakin 'cekatannya' respons publik atas sebuah peristiwa.

 

Apalagi, kasus ini menimpa seorang figur publik yang dikaitkan dengan prostitusi, suatu tindakan yang 'tidak dapat' ditoleransi oleh hukum negara, agama, atau masyarakat. Bagi kita yang tinggal di negara berkembang, kasus prostitusi ini tergolong serius.

 

Lebih-lebih, dengan fakta Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Palermo melalui UU Nomor 14 Tahun 2009. Instrumen hukum internasional yang mengatur bentuk kejahatan perdagangan manusia ini menyatakan, prostitusi merupakan satu bentuk eksploitasi pada tubuh.

 

Meskipun awalnya sebagian negara mengusulkan legalisasi prostitusi, terutama negara maju, tidak demikian halnya dengan suara mayoritas negara berkembang dan negara miskin, yang secara keras melakukan penolakan.

 

Argumentasinya adalah jika prostitusi dilegalkan, asumsinya perempuan dan anak yang berasal dari komunitas dua negara yang disebutkan terakhir akan menjadi objek perdagangan.

 

Selain itu, penetapan di atas dibuat dengan pertimbangan, dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan dan laki-laki sudah menjadi korban kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani kemanusiaan. Pertimbangan itu sekaligus menegaskan, kejahatan perdagangan manusia, termasuk prostitusi, tidak boleh dibiarkan dan tak dihukum.

 

Untuk konteks Indonesia, perangkat hukum untuk kejahatan perdagangan manusia telah mengintegrasikan prinsip perlindungan bagi korban perdagangan orang akibat prostitusi dari Protokol Palermo tahun 2000 ke dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

 

Ini komitmen negara atas penindakan kejahatan berdimensi internasional tersebut. Patut diketahui, perdagangan orang adalah salah satu perluasan jenis kejahatan, sebagai konsekuensi logis perkembangan teknologi dan pengetahuan dalam dunia global.

 

Kejahatan terorganisasi dengan modus operandi yang semakin kompleks memberikan ancaman pada kehidupan dan kesejahteraan nilai kemanusiaan. Kejahatan ini beragam, mulai dari eksploitasi kerja, pemiskinan, penjualan organ tubuh, hingga penjualan tubuh manusia untuk prostitusi.

 

Dalam konteks jenis kejahatan yang terakhir, perempuan dan anak yang lebih banyak menjadi korban. Mengapa lebih rentan menjadi korban? Sebab, ada dimensi posisi dan kondisi perempuan dan anak yang berbeda dibandingkan laki-laki dalam relasinya di lingkungan, baik privat maupun publik.

 

Perempuan dan anak umumnya bukan orang dalam posisi dan kondisi 'bebas' dalam menentukan kehendaknya. Penentuan voluntary (sukarela/berkehendak bebas) dalam konteks pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dimaknai sama dengan tindak kejahatan lain. Lalu muncullah multitafsir.

 

Misalnya, kalau si A yang 'meminta' untuk diprostitusikan, tindakan voluntary prostitution itu bukan merupakan tindak kejahatan. Akibatnya, anak dan perempuan korban tidak lagi diposisikan sebagai korban.

 

Logika hukum tersebut tentu tidak tepat karena pada Pasal 26 UU TPPO, secara prinsip menyatakan, “persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang”.

 

Dengan begitu, dalam logika hukum tidak dikenal istilah voluntary prostitution yang berakibat pada pembebasan pelaku dari hukum, lalu sebaliknya menyalahkan, menstigma, atau menghukum korban. Yang kemudian masih sering muncul menjadi pertanyaan publik, seperti yang beredar dalam bentuk meme adalah bagaimana halnya jika korban yang meminta dan merengek untuk diprostitusikan?

 

Logika hukum menempatkan korban tetap pada posisi korban dan pihak yang meloloskan permintaan sehingga menyebabkan orang terprostitusi, tetap sebagai pelaku tindak kejahatan. Mengapa demikian?

 

Sebab relasi antara 'peminta dan pemberi' mengandung dimensi yang tidak koordinatif. Secara sosiologis, relasi itu mengandung ketimpangan karena 'pemberi'-lah yang umumnya memiliki otoritas dan mengendalikan 'peminta'.

 

Meskipun dalam dimensi hukum, berbagai instrumen sudah menjamin kesetaraan dalam relasi kerja, prostitusi tidak termasuk yang dijamin oleh hukum.

 

Tidak ada satu pun aturan di negeri ini yang memberikan jaminan adanya relasi setara dalam kerja prostitusi karena prostitusi di Indonesia tidak termasuk dalam jenis pekerjaan yang diakui negara. Sehingga dapat dipastikan, ada unsur keterpaksaan, ketidakmampuan, kemiskinan, dan faktor lain yang 'tidak terang benderang' atau sering disebut rentan.

 

Maka jika riuhnya pemberitaan saat ini lebih mengarah pada stigmatisasi korban dan menjatuhkan posisinya dari dimensi moral semata, saya khawatir, kita akan semakin sulit mengarah pada komitmen untuk menjaga nilai martabat kemanusiaan dan jaminan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana amanat Pasal 28I (2) UUD 1945.

 

Sayangnya, setelah 12 tahun kelahiran undang-undang ini, pemahaman masyarakat bahkan penegak hukum belum cukup baik. Akibatnya, banyak pelaku TPPO lolos dari jerat hukum dan korban semakin sulit mengakses keadilan bahkan mengalami reviktimisasi.

 

Semoga pada 2019, Indonesia tidak lagi berada dalam posisi Tier 2 dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Ke depan, peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus lebih masif lagi mengintegrasikan materi TPPO ke dalam kurikulum pendidikan karena kejahatan ini adalah satu dari tiga kejahatan serius di dunia selain narkoba dan terorisme. **

 

Editor :
Sumber : Ninik Rahayu
- Dilihat 1979 Kali
Berita Terkait

0 Comments