DAKTA.COM - Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tanggal 24 November 2018 saya mendapat undangan untuk mengisi seminar di Wisma Magister Manajemen Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Seminar diselenggarakan dalam rangka kegiatan ‘The Second Islamic Psychology Convention’. Ada sejumlah dosen dan mahasiswa yang hadir. Acara keilmuan seperti ini sangat penting untuk diperhatikan.
Sesuai dengan ‘TOR’ seminar ini, saya mendapat tugas menyampaikan presentasi dengan judul “Memaknai Ibadah melalui Perspektif Agama dan Keilmuan”. Judul itu memberikan kesan seolah-olah agama dan keilmuan adalah dua hal yang berbeda. Padahal, setiap Muslim pasti paham, bahwa setiap ibadah harus dilaksanakan berdasarkan ilmu. Itulah ketentuan Islam. Sebab, antara ilmu dan agama tidak bisa dipisahkan. Setiap Muslim wajib beraqidah dan beribadah atas dasar ilmu.
Cara pandang yang memisahkan antara agama dan ilmu bukanlah cara pandang yang benar menurut Islam. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu atasnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra: 36).
Sayangnya, cara pandang yang memisahkan agama dan ilmu (ilmiah) ini sudah terbiasa dalam tradisi pendidikan kita. Sebagai contoh, dalam buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk SMA/MA kelas X, tentang asal-usul manusia Indonesia disebutkan: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.” (hlm. 81)
Kemudian diberikan penjelasan: “Agama berada dalam tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tetap dapat dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.” (hlm. 81).
Dalam bidang pengajaran Filsafat Ilmu di berbagai Perguruan Tinggi, misalnya, dikembangkan buku-buku Filsafat Ilmu yang mendorong mahasiswa membuang agama dari konsep keilmuan. Katanya, filsafat harus netral agama. Padahal, filsafat yang netral agama, adalah filsafat sekular; yakni filsafat yang tidak didasarkan pada wahyu.
Dalam sebuah buku berjudul, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), disebutkan: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut…. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.” (1995:131-132).
Jika konsep dan definisi ilmu seperti itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius. Sebab, pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina, dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, dalam al-Quran, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai Akhir Zaman.
Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Pakar Filsafat Ilmu, Prof. Wan Mohd Nor, menjelaskan, bahwa dari segi linguistik, perkataan ‘ilm berasal daripada akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil daripada perkataan ‘alamah, yaitu “tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda”.
Dengan demikian, ma’lam (jamak: ma’alim) berarti “tanda jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Seiring dengan itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai “penunjuk jalan”. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah âyah (jamak: ayat) dalam al-Qur’an yang secara literal berarti “tanda” merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena alam.
Jadi, memang, kata ilmu, alam, dan ‘ilm (‘ilm dengan makna “yakin”), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena “alam” jika dipahami sebagai ayat Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT. Karena itulah, Allah SWT memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusia-manusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami ayat-ayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada pemahaman dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. (QS al-A’raf: 179).
Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu dia mengenal Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan (’ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imran:18-19).
Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak boleh ia sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang baiklah yang perlu dipelajari. Sebab, ilmu-ilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia kepada keimanan dan kebahagiaan. Sangatlah keliru, jika manusia justru bangga dengan ilmu yang mengantarkan kepada keraguan dan pengingkaran kepada al-Khaliq. Imam Malik rahimahullah berkata: “Haqqun ‘alaa man thalaba al-ilma an-yakuuna lahuu waqaarun wa-sakiinatun wa-khasyyatun.” (Orang yang mencari ilmu seharusnya memiliki sifat ketenangan, ketenteraman, dan rasa takut kepada Allah SWT). (Dikutip dari buku, Mengapa Saya Harus Mondok, terbitan Pesantren Sidogiri, Pasuruan, 1431 H).
Tauhidik
Bagaimanakah cara pandang keilmuan yang ‘Tauhidik’ atau yang integratif dalam Islam? Pakar filsafat Islam, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan perhatian khusus terhadap kitab akidah Islam tertua yang beredar di wilayah Melayu, yaitu kitab Aqa’id al-Nasafiah. Tahun 1988, Prof. al-Attas menerbitkan salah satu karya monumentalnya: The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqaid of al-Nasafi (Kuala Lumpur: University Malaya, 1988).
Kitab Aqidah al-Nasafi ini unik. Baris-baris awal diawali dengan bimbingan cara berpikir dan cara meraih ilmu dalam Islam. Imam al-Nasafi menulis kalimat awal pada kitabnya: “haqa’iq al-asyya’ tsaaibitatun, wal- ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan li-sufastha’iyyah.” (Hakekat segala sesuatu adalah tetap; dan memahaminya adalah kenyataan; berbeda dengan pandangan kaum sofis). Kaum sofis adalah kaum yang tidak percaya bahwa manusia bisa meraih ilmu. Mereka selalu ragu dengan pengatahuan yang diraihnya.
Lalu, Imam al-Nasafi melanjutkan uraiannya dengan mengungkapkan tiga sebab manusia meraih ilmu, yaitu melalui panca indera, akal, dan khabar shadiq (true report). Konsep epistemologi al-Nasafi ini sangatlah penting untuk dipahami para pengkaji ilmu, khususnya para akademisi, dan juga setiap muslim. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dapat menjauhkan manusia dari kebahagiaan, sebab ia tidak pernah mengenal Tuhan Sang Pencipta.
Jadi, cara berpikir Tauhidik adalah yang memadukan tiga sebab manusia meraih ilmu, yaitu panca indera, akal, dan khabar shadiq. Ini sudah menjadi tradisi keilmuan Islam. Dalam memandang ‘shalat’ misalnya. Tiga sebab manusia meraih ilmu dipadukan. Tentang kedudukan dan tata cara shalat dirujuk kepada wahyu (al-Quran dan Sunnah Nabi). Sedangkan bagaimana menentukan arah kiblat, menentukan pakaian yang suci dan halal ditentukan berdasarkan keilmuan empiris dan rasional.
Contoh lain, dalam pelaksanaan ibadah Puasa Ramadhan, tiga sebab ilmu tersebut pun digunakan. Dalam penentuan kewajiban dan tata cara puasa, digunakan sebab ilmu dari wahyu. Sedangkan dalam penentuan awal Ramadhan, saat berbuka puasa, dan penentuan makanan halal, digunakan ilmu yang rasional dan empiris.
Inilah cara pandang keilmuan yang ‘Tauhidik’ dalam memahami ibadah dalam Islam. Jadi, Islam tidak mengenal dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Karena itu, seluruh aspek ibadah dalam Islam harus dipahami dengan kerangka keilmuan yang integral atau Tauhidik. Semua ibadah wajib berdasarkan ilmu. Bukan asal-asalan.
Ketiga sebab ilmu (panca indera, akal, dan wahyu), perlu dipadukan secara proporsional (beradab). Misalnya, ilmu-ilmu wahyu yang bersifat pasti (qath’iy), tidak bisa dikalahkan dengan ilmu empiris yang sifatnya tidak pasti atau relative (dhanniy), apalahi yang bersifat bathil. Misalnya, zina hukumnya pasti haram. Mendekati zina pun dilarang. Lalu, mucullah sebuah survei, bahwa ternyata, mahasiswa yang berprestasi akademik tinggi adalah yang rajin pacaran. Ini fakta. Maka, fakta ini tidak boleh mengalahkan ilmu wahyu yang bersifat pasti.
Contoh lain, dalam Islam, batas maksimal usia anak-anak adalah umur 15 tahun. Ini ketentuan wahyu. Maka, saat sudah berusia 15 tahun, seorang sudah dipandang dewasa (akil baligh). Ia sudah menjadi mukallaf (terbebani kewajiban menjalankan syariat). Maka, ia sudah harus tahu mana tauhid mana syirik; mana iman, mana kufur; mana halal, mana haram, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, riset-riset empiris apapun, tidak boleh bertentangan dengan kriteria umur dewasa yang ditentukan berdasarkan wahyu. Andaikan ada riset empiris yang menyimpulkan bahwa dewasa awal adalah umur 18 tahun, maka riset empiris ini tidak boleh mengalahkan ketentuan usia dewasa menurut ketentuan wahyu.
Bahwa manusia adalah keturunan Nabi Adam, dan Nabi Adam bukan merupakan hasil evolusi monyet, adalah ilmu yang pasti. Jika, konon, ada riset lapangan yang menyimpulkan bahwa manusia sekarang adalah kelanjutan dari monyet, maka riset ini pasti salah. Sebab, riset-riset tidak mengakui “Ruh” sebagai objek ilmu, karena tidak dapat terindera (insensible). Padahal, eksistensi manusia yang utama justru ditentukan oleh jiwanya, bukan oleh badannya.
Demikianlah, konsep dan contoh-contoh berpikir integral atau ‘Tauhidik’ dalam memahami ibadah dalam Islam. Cara pandang ini memadukan tiga sebab meraih ilmu secara integral dan proporsional. Dengan cara pandang keilmuan yang Tauhidik inilah, Ilmu Psikologi Islam dapat dikembangkan lebih baik lagi ke depan. InsyaAllah.
(Kuala Lumpur, 2 Desember 2018).
Editor | : | |
Sumber | : | Dr. Adian Husaini |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments