Wawancara /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 17/03/2015 17:08 WIB

Kontroversi Remisi Bagi Terpidana Koruptor


DAKTACOM: Kontroversi pengurangan remisi bagi terpidana koruptor, telah menjadi perbincangan disejumlah kalangan, terutama setelah Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, tidak sepakat dengan Peraturan Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak kejahatan luar biasa.

"Ini menjadi sangat diskriminatif ada orang yang diberikan remisi, ada yang ditahan. Padahal prinsip dasar pemberian remisi pada Undang-undang nomor 12 tahun 1995 itu hak. Jadi napi punya hak remisi, punya hak pembebasan bersyarat, punya hak pendidikan untuk mendapat pelayanan. Hak itu ada," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/3/2015).

PP 99 tahun 2012 itu menurut Menkum Ham, justru menimbulkan diskriminasi dan bertentangan dengan undang-undang. Politisi PDI Perjuangan ini kemudian mencontohkan pelaku teror yang harus mendapat persetujuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) apabila ingin mendapat remisi.

Demikian juga terpidana korupsi dan narkoba yang harus mendapat pertimbangan dari penegak hukum. Syaratnya harus menjadi whistleblower.

Dalam pandangan Yasonna, seburuk-buruk napi kasus korupsi, mereka tetap harus diberikan hak untuk mendapat keringanan hukuman seperti narapidana kasus lain. Pernyataan itu kontan mengundang perdebatan terutama bagi para praktisi hukum. Untuk mengetahui bagimana KPK menyikapi soal remisi bagi terpidana korupsi berikut ini wawancara Risda Auliya dari Radio Dakta dengan mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua.

Risda Aulia : Bagaimana anda mencermati rencana pemberian remisi bagi para terpidana korupsi?

Abdullah Hehamahua : Hemat saya hampir semua masyarakat mulai dari pejabat hingga pedagang kaki lima, sependapat bahwa korupsi adalah (extraordinary Crime)  kejahatan yang luar biasa sehingga dibutuhkan penanganan yang luar biasa juga. Yang paling menyedihkan Indonesia masih dinobatkan sebagai negara yang paling jelek dalam pemberantasan korupsi.Jika pemerintah memudahkan mendapat remisi bagi para koruptor, jelas akan dapat melukai hati masyarakat. Bahkan dapat menilmbulkan apatisme dalam pemberantasan korupsi.

Terpidana korupsi tak bisa disamakan dengan terpidana kasus lain. Karena koruptor yang mencuri dan menggarong uang rakyat adalah kejahatan luar biasa makan penanganannya juga harus luar biasa termasuk hukum yang dijatuhkan harus lebih berat dibandingka dari kasus pidana umum.

Betapa dahsatnya dampak yang ditumbulkan kejatahan korupsi. Para koruptor menucuri uang yang dihimpun dari rakyat. Yang seharusnya uang itu digunakan untuk membangun pertanian, industri, insfrastruktur, pendidik dan kesehatan, malah uang itu dikorup. Akibatnya rakyat semakin bodoh karena uang yang seharusnya membiaya pendidikan justru di korup. Kita sering menemukan bayi yang kurang gizi karena uang yang seharusnya digunakan untuk perbaikan giza akan dikorupsi.

Uang yang diperoleh dengan menguntang yang seharusnya untuk digunakan membiayai proyek, malah dikorup, sementara utang harus dibayar. Saat ini utang kita sudah sudah mencapai 300 trilun.  

Gangguan keamanan yang terjadi akhir-akhir ini seperti maraknya begal, tak bisa dipisahkan dari dampak korupsi. Sebab, jika kita memperhatikan pelaku begal justru dilakukan remaja pengangguran. Pengangguran terjadi karena pemerintah tak dapat menyiapkan lapangan kerja salah satu penyebabnya karena dana penyediaan lapangan kerja dikorupsi.


Oleh karena kehadiran KPK sangat dibutuhkan sebab selama ini Kejaksaan dan Polisi sebagai penegak hukum tak berhasil membrantas korupsi. Maka diperlukan KPK. Tapi ketika pimpinan KPK punya keberanian menangkap para koruptor dengan mudah pimpinan KPK ditersangkakan seperti apa yang dialami Bambang Widjoyanto dan Abraham Samad. Ironisnya kasus yang membelit mereka bukanlah kasus yang merugikan negara tapi hanya   pemalsuan KPT dan sumpah palsu. Berapa juta KTP palsu yang beredar di Indonesia,lalu yang dihadapi Bambang Widjoyanto kasus tentang summpah palsu. Itupun yang bersumpah itu bukan BW tapi orang lain.


Apakah langkah pemerintah memberi remisi bagi terpidana korupsi akan mengebiri kerja KPK

Kalau alasan soal hak asasi, semua nara pidana punya hak mendapat remisi. Tapi kita harus bedakan koruptor yang telah mengambil uang rakyat. Konyolnya para koruptor ini tak merasa telah mengambil, menuri uang rakyat. Mereka ditahan penjara tetap bisa tidur nyenyak sama dengan ia tidur di ruang ber AC.


Apa langkah remisi sebagai upaya mengkebiri KPK

Uang dikumpulkan dari rakyat lalu dicuri.  KPK, Polisi dan Kejaksaan sudah berjuang untuk menangkap korupsi, tapi mereka  hukumannya diringankan.  Seperti mendapat remisi. Ini sangat tak bijak. Ada persoalan budaya kita yang keliru, orang yang sebelum tak pernah berjilbab kemudian ia berjilbab dan memberikan sebagain kecil dari hartanya untuk bersedekah, lalu ia dikesankan seolah ia orang yang demawan. Padahal uang yang ia korupsi sungguh luar biasa banyaknya. Boleh jadi dengan adanya desakan pemberian remisi kepada para koruptor adalah upaya pelemahan KPK.


Apakah dengan pemberian remisi membuktikan rezim Jokowi mendukung tumbuh suburnya koruptor

Meski tak secara transparan mendukung tumbuhnya koruptor, tapi dengan pembiaran para pimpinan dan penyidik KPK di tersangkakan, sudah menjadi isarat bahwa pemerintahan Jokowi adanya pelemahan KPK. Apalagi tak lama setelah pimpinan KPK jadi tersangka ada usulan untuk memberikan remisi bagi terpidana koruptor semakin memberikan gambarang yang jelas bahwa pemerintahan Jokowi tak terlalu perduli dengan masalah korupsi.

Lalu, apa Langkah untuk menghentikan upaya pemberian remisi bagi terpidana korupsi? 

Pertama harus disuarakan media massa bahwa pemberian remisi bukanlah tindakan yang bijak. Masyarakat juga harus ikut mengontrol terhadap adanya upaya  yang melemahkan pemberantasan korupsi. Kita berharap presiden harus menegur bawahannya yang menghalang-halangi tindak pemberantasan korupsi.


Editor   : Imran Nasution

Editor :
- Dilihat 2687 Kali
Berita Terkait

0 Comments