Selasa, 06/11/2018 15:34 WIB
Mewujudkan Generasi Santri Pejuang
DAKTA.COM - Oleh: Dr. Adian Husaini
Alkisah! Seorang santri lulusan program Kulliyyatul Mu’allimin (Kuliyah Guru) ditanya oleh KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Gontor, “Apa kamu sudah mengajar?” Santri itu menjawab, “Belum Pak Kyai!” Maka, Kyai Imam Zarkasyi pun bertutur, “Mati kamu!”
Jawaban Kyai Imam Zarkasyi itu menyiratkan, bahwa seorang santri yang tidak mengajarkan ilmu yang sudah dia dapat di pesantren, dianggap sama dengan tidak hidup. Salah satu ajaran terkenal KH Imam Zarkasyi adalah, bahwa ‘orang besar’ bukanlah orang yang memiliki pangkat atau jabatan tinggi, harta berlimpah, atau banyak ilmu. Tapi, ‘orang besar’ adalah orang yang ikhlas mengajar mengaji, walaupun di daerah terpencil.
“Ruh perjuangan” itulah yang selama beratus tahun hidup dalam dunia pesantren. Sebuah kitab legendaris yang dikaji di dunia pesantren, yakni Kitab Ta’limul Muta’allmin, karya Zyekh al-Zarnuji menyebutkan, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang diamalkan dan diajarkan atau disebarkan ke masyarakat.
Kegigihan para santri dalam menjaga aqidah dan akhlak masyarakat Muslim Indonesia selama ratusan tahun telah menjadi benteng yang tangguh dalam menjaga umat Islam Indonesia dari pemurtadan oleh kaum penjajah. Bahkan, sejarah kemudian juga mencatat, bagaimana hebatnya peran kyai dan santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meraih ilmu yang bermanfaat, itulah tujuan utama mencari ilmu. Yakni, mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Nabi saw memerintahkan, “Mintalah kalian kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibn Majah).
Dunia pendidikan kita memang ‘unik’! Nabi Muhammad saw perintahkan umatnya: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim!” Yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat. Tapi, cobalah telaah kurikulum pendidikan formal kita, dari TK sampai tingkat S-3, apakah ada definisi tentang ilmu yang wajib dicari atau ilmu yang bermanfaat? Akibatnya, anak-anak Muslim tidak mendapatkan haknya untuk beribadah menjalankan agamanya dengan baik.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dipelopori oleh para ulama mencontohkan tradisi ilmu yang baik. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, anak-anak di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, biasa mengaji kitab Adabul Insan dan Risalah Dua Ilmu, karya Habib Sayyid Utsman, mufti Betawi. Kitab ini mengajarkan tentang kewajiban mencari ilmu dan bagaimana cara (adab) mencari ilmu yang benar.
Tidak heran, jika dari madrasah para ulama di Betawi, dulu, lahir ulama-ulama dan guru-guru yang hebat yang gigih mengajarkan ilmu dan mendidik masyarakat. Keikhlasan dan kegigihan para ulama itu memiliki peran besar dalam mengawal aqidah dan akhlak masyarakat, sehingga mereka selamat dari pemurtadan.
Pada tahun 1970-an di kampung-kampung, biasanya anak-anak tingkat SMP mengaji kitab Bidayatul Hidayah, karya Imam al-Ghazali. Kitab ini ada uraian tentang ciri-ciri ilmu yang bermanfaat: ilmu semakin menambah rasa takut kepada Allah, semakin menyadarkan manusia akan kekurangan dalam ibadah, semakin mengurangi cinta dunia; dan juga semakin meningkatkan kecintaan kepada akhirat. Inilah kriteria ilmu yang wajib dicari!
Hanya dengan niat ikhlas, ilmu yang bermanfaat bisa diraih. Di mukaddimah Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa jika seorang mencari ilmu supaya dapat pujian dan perhatian manusia, atau supaya dapat menghimpun harta benda dunia, dan niat-niat sejenisnya, maka sungguh ia sedang menghancurkan agamanya sendiri, merusak diri dan gurunya, serta menjual akhirat dengan dunianya!
Adab Guru-Murid!
Ilmu yang manfaat adalah syarat mutlak untuk melahirkan manusia yang baik, manusia mulia; yakni manusia yang bermanfaat bagi sesama; manusia yang menempatkan dirinya sebagai pejuang penegak kebenaran dan penentang kemungkaran (QS 3:110). Ilmu semacam ini hanya lahir dari guru dan murid yang beradab. Tidak heran, jika ribuan kitab tentang adab ilmu ini ditulis oleh para ulama.
Salah satu buku penting di Indonesia dalam dunia pendidikan yang menjelaskan masalah ini adalah Kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim karya K.H. Hasyim Asy’ari. Judul kitab ini sama dengan judul Kitab yang ditulis oleh Imam Nawawi. Dan itu tidak aneh. Sebab, tradisi keilmuan dalam Islam memang mengikuti pola yang pernah disampaikan Umar Ibn Khathab r.a., yakni: ”taaddabū tsumma ta’allamū!” Beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian!
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, misalnya, dikenal memiliki adab yang tinggi dalam mendidik para santrinya. Selain memberikan teladan, beliau juga tak henti-hentinya memberikan motivasi dan inspirasi dalam perjuangan. Sampai-sampai Bung Karno mengakui, ketika berusia 15 tahun, beliau sudah ”menginthil Kyai Dahlan”.
Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan pun, sangat menekankan adab guru-murid dalam pendidikannya. Beliau menulis buku berjudul ”Kesopanan Tinggi”, dan juga diktat berjudul ”Hai Poetrakoe!” (tahun 1946), yang dikaji dalam sebuah disertasi doktor pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Dalam kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan rumus: ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).
Dari judul Kitab Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bisa dipahami, bahwa penerapan adab harus dimulai dari dunia pendidikan. Guru harus beradab; murid pun demikian! Sebab, itulah pondasi pembangunan manusia mulia dan juga asas untuk membangun bangsa dan peradaban mulia.
Reformasi Pendidikan!
Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami ’gonta-ganti presiden’, ’gonta-ganti menteri’ dan juga ’gonta-ganti kurikulum pendidikan’. Tapi, harus diakui, kondisi bangsa kita masih ’seperti ini’. Berbagai peristiwa di tengah masyarakat masih menunjukkan adanya krisis serius dalam bidang akhlak. Bahkan, mungkin, semakin mengkhawatirkan.
Padahal, UUD 1945 (pasal 31, ayat 3) menegaskan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Tujuan pembentukan manusia mulia itu ditegaskan lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Semua tujuan pendidikan yang hebat itu tidak mungkin diraih tanpa peranan guru yang hebat, yakni guru yang beradab. Dalam Kitabnya tersebut, Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab bagi guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta dunia), selalu mensucikan jiwanya, menegakkan sunnah Rasul, dan sebagainya.
Pemerintah seyogyanya mengusahakan terciptanya guru-guru mulia semacam ini; bukan guru serakah dunia, malas ibadah dan malas mencari ilmu. Bahkan, para pemimpin bangsa itulah yang harus menjadi contoh sebagai guru yang baik. Para pemimpin bangsa kita dulu adalah para guru. Panglima Sudirman, misalnya, adalah seorang guru dan menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di usia 20 tahun. Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional, disamping seorang negarawan, juga dikenal sebagai guru teladan dan menekankan pentingnya peran guru-guru yang ikhlas dalam kebangkitan suatu bangsa.
Jika guru harus beradab, apalagi santri atau pelajar! Kyai Hasyim Asy’ari menjelaskan diantara adab yang harus dimiliki oleh santri adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sedikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.
Santri juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Dalam hal ini ia perlu memohon petunjuk kepada allah, kepada siapa ia harus menimba ilmu dan mencari pembimbing akhlaknya. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru, sehingga ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Generasi Emas Santri!
Sejarah membuktikan, bahwa konsep pendidikan berbasis adab itulah yang diterapkan selama ratusan tahun di pondok-pondok pesantren, madrasah, dan berbagai lembaga pendidikan Islam di seluruh pelosok Nusantara. Dan memang, inilah sejatinya konsep pendidikan yang diterapkan umat Islam sejak masa Nabi Muhammad saw, yang kemudian melahirkan generasi Sahabat Nabi, generasi Shalahuddin al-Ayyubi, generasi Muhamamd al-Fatih, dan juga “Generasi Emas Santri” tahun 1945.
Dari pendidikan yang berporos pada proses “pembersihan jiwa” (tazkiyyatun nafs) inilah, lahir para pejuang yang gigih mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Sebutlah, misalnya, Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M), yang bukan hanya mengajar dan menulis, tetapi juga memimpin perang di wilayah Jawa Barat. Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani (1704-1789), seorang ulama sufi dari Palembang, menulis kitab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah: Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, 22 Oktober 1945, yang menegaskan, bahwa mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah wajib bagi kaum muslimin Indonesia. Puluhan ribu kyai dan santri turun langsung dalam jihad fi sabilillah! Mereka tidak gentar menghadapi pesawat tempur, tank, meriam dan bedil-bedil canggih tentara Eropa.
Fatwa jihad ini sungguh dahsyat pengaruhnya. Seluruh kaum Muslimin menyokong. Koran Kedaulatan Rakjat, menurunkan headline berjudul: “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah!” Ujungnya, meskipun didukung pemenang Perang Dunia Kedua, Belanda gagal menjajah kembali Indonesia. Salah satu jenderal Sekutu mati di Surabaya.
Jadi, terbukti, dunia pesantren di Indonesia pernah melahirkan satu “Generasi Emas Santri” yang memiliki tradisi ilmu dan perjuangan yang tinggi. Generasi santri seperti ini insyaAllah akan lahir kembali jika dunia Pesantren tetap teguh menjaga tradisi ilmu yang benar dan mampu berinteraksi secara kreatif dengan tantangan global dan budaya lokal. Wallahu A’lam bish-shawab. (Dengan sedikit editing, tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Islamia Republika, Kamis, 18 Oktober 2018).
Editor | : | |
Sumber | : | Dr. Adian Husaini |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments