Wawancara /
Follow daktacom Like Like
Senin, 22/06/2015 12:03 WIB
Mustofa Nahrawardaya

Islam Nusantara Untuk Mengotak-ngotakkan Islam

Mustofa B Nahrawardaya
Mustofa B Nahrawardaya


DAKTACOM:  Bak kelinci percobaan, umat Islam di Indonesia tampaknya tak pernah selesai diuji dengan wacana-wacana baru. Meskipun ide dasarnya merupakan pengulangan dari wacana yang telah usang, namun ide ini terus dikampanyekan secara massif. Kini, ide itu bernama Islam Nusantara.

Hanya saja kali ini, wacana Islam Nusantara dipikulkan kepada ormas Islam yang memiliki pengaruh cukup luas di tengah masyarakat Indonesia. Tak ketinggalan para pejabat terkait urusan agama hingga Presiden turut meramaikannya.

Kiblat.net berupaya mengumpulkan pendapat para tokoh terkait ide Islam Nusantara. Salah satunya adalah aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya. Berikut petikan wawancara Kiblat.net pada Rabu, (17/06) di bilangan Jakarta.

Akhir-akhir ini kita melihat media-media dan di beberapa kampus mulai sering digelorakan kampanye Islam Nusantara apakah memang ada agenda terselubung atau memang sekadar kebetulan saja?

Jadi ini adalah bagian dari upaya untuk membangun opini terkait dengan upaya-upaya seluruh dunia untuk menjauhi Islam, yang seolah-olah Islam itu digambarkan seperti yang terjadi di Timur tengah. Yaitu dengan membentuk seolah-olah ini (Islam Nusantara, red) adalah sebuah solusi Islam yang tepat, tidak seperti yang ada di Timur tengah.

Kalau di Indonesia namanya sekarang diusulkan Islam Nusantara. seolah-olah ide ini solusi yang terbaik bagi Islam seluruh dunia. Disuruh menyontoh, ini lho Islam nusantara. Dugaan saya mereka inginnya seperti itu. Jadi kalau mau mencontoh Islam yang baik, itu adalah Islam nusantara yang ada di Indonesia, itu secara umum.

Tapi secara khusus, ini kan ada huruf ‘nu’. Itu di pas-paskan. Kan bisa saja Islam Indonesia juga bisa. Kenapa tidak Islam Indonesia? Kenapa Islam Nusantara, karena di situ inisiatornya adalah berasal dari organisasi yang ada huruf ‘nu’, maka dinamakanlah Islam Nusantara.

Lazimnya, kalau tidak mau dikait-kaitkan dengan nama organisasi tentu lebih tepat adalah Islam Indonesia. kan begitu, jadi bukan Islam Nusantara lagi.

Kalau boleh berkelakar, apa usulan Anda?

Kalau saya boleh usul, misalkan saya dimintai pertimbangan lebih bagus nama apa, saya usulkan Islam Indonesia. Itu pun kalau saya setuju. Persoalannya kan saya tidak setuju. Saya tidak setuju pembentukan Islam Nusantara karena prinsip Islam itu adalah Islamlah yang mewarnai Indonesia atau mewarnai nusantara, bukan kebalikannya nusantara yang mewarnai Islam.

Apa perbedaannya?

Berbeda dong. ini seperti spare part mobil. kita kalu butuh spare part Honda ya kita ke Jepang. Kita butuh spare part VW kita ke Jerman. Kita butuh spare part GMC kita ke Amerika, dan seterusnya. Itu adalah model-modelnya. Jadi kita itu memiliki acuan-acuan, sumber-sumber. Yang namanya agama Islam itu lahir di Arab untuk seluruh dunia, rahmatan lil ‘alamin.

Kalau begitu, Islam Nusantara itu tidak bisa rahmatan lil alamin karena orang harus meniru cara Indonesia, seperti orang Indonesia. Mestinya Islam di Indonesia pun cocok untuk Islam yang lain, namanya universal kan.

Dengan demikian ini kan terkesan mengkotak-kotakkan, bahwa Islam itu tidak sama di seluruh dunia. Padahal nilai-nilai Islam dengan perilaku itu berbeda. Misalkan perilaku orang Islam di suatu negara.

Ini perilaku ya, berbeda dengan nilai. Nilai itu harusnya sama. Kita tidak boleh kemudian membohongi diri sendiri, seolah-olah kita itu menyesal telah memiliki agama bernama Islam, kemudian tidak cocok dengan kultur orang Indonesia. Kita tidak boleh seperti itu.

Faktanya adalah Islam terlahir di sana, tetapi untuk seluruh alam, rahmatan lil alamin, untuk semua manusia generasi mana pun. Islam adalah agama terakhir dan sudah ditulis dalam nash sebagai yang paling sempurna, tidak ada yang lebih sempurna dari itu. Itu yang pertama.

Yang kedua, tentu ide ini sangat janggal karena saya lihat pengusung ide Islam Nusantara itu justru dari orang yang memiliki kelompok yang memelihara “tradisi Arab”. yang suka bershalawatan rame-rame.

Itu bukan tradisi Islam Indonesia?

Bukan tradisi kita lah. Yang suka berzikir ramai-ramai, istighosah.. Lho ini mereka meniru gaya-gaya mana coba? Bahasanya, hurufnya, ini kan dari Al-Quran yang lahir di Arab. Kenapa zikirnya istighosahnya atau salawatannya tidak pakai bahasa Jawa? Ini kan berasal dari kelompok yang justru memelihara tradisi atau kebiasaan Arab, kemudian malah mengusulkan Islam yang hanya cocok untuk Indonesia. Tentu ini berbenturan.

Menurut saya ini tidak cocok dan janggal, jangan-jangan usulan ini adalah hanya untuk menggalang opini akan adanya even-even besar yang mereka miliki.

Ada indikasi ke arah situ?

Namanya penggalangan opini. Manajemen isu itu adalah sesuatu yang lazim dalam even-even tertentu yang dimiliki oleh organisasi. misalkan organisasi A mau mengadakan Munas, maka supaya masyarakat ikut terlibat secara emosional dengan Munas itu dibikinlah teaser-teaser, tahapan-tahapan opini, isu-isu supaya masyarakat ikut terlibat di dalam keinginan, visi misi tertentu. Nah tentu ini adalah sebagai bagian opini manajemen isu.

Jadi karena ini bertolak belakang dengan kultur lingkungan mereka, golongan mereka yang sesungguhnya memelihara tradisi-tradisi Arabic, ini tentu tidak pas, tidak klop. Mestinya yang mengusung Islam Nusantara itu adalah kelompok yang minim sekali mereka memelihara tradisi-tradisi kearaban.

Ada yang mengatakan konsep Islam Nusantara ini untuk melawan Arabisasi yang seolah-olah digembar-gemborkan sebagai ideologi transnasional?

Untuk level besarnya begini, nanti ide Islam Nusantara ini akan berbahaya misalkan nanti ada Islam Nusantara, ada Islam Malaysia, ada Islam Brunei, itu yang besar, makronya.

Yang lebih rumit lagi, ada Islam Medan, Islam Surabaya, Islam Jogja, Islam Kediri, Islam Madura. Lebih kecil lagi ada Islam Kecamatan A, kecamatan B. Lho ini kan ngeri paham yang seperti ini. Padahal Islam itu ya satu. Ini adalah prinsip. Islam itu satu.

Nah yang memungkinkan adalah mengIslamkan orang Jawa, mengIslamkan orang Medan, mengIslamkan orang Malaysia. Bukan sebaliknya memadurakan Islam, menjawakan Islam, memedankan Islam. Islam itu tidak bisa diubah. Islam itu sudah sangat sempurna, tidak mungkin dia diubah, dimodifikasi tidak mungkin.

Tapi soal perilaku beda lagi. Nilai-nilai Islam itu sama persis, tidak bisa diubah dan itu cocok dengan semua orang jika semua orang mengerti. Tapi persoalannya kan tidak semua orang paham. Nah, sekarang rahmatan lil alamin kadang-kadang disesatkan artinya.

Beberapa lembaga, misalkan saya lihat sekarang, BNPT misalkan atau pejabat-pejabat itu mengartikan rahmatan lilalaamin dalam perspektif yang sempit. Seolah-olah rahmatan lil alamin karena cocok untuk semua negara, kemudian setiap negara itu boleh memodifikasi Islam itu sendiri. Karena cocok kemudian boleh memodifikasi sendiri.

Ini seolah-olah Islam Indonesia itu ya seperti ini. Kalau pengajian pakai jilbab, kalau tidak pengajian perempuannya tidak usah pakai jilbab. Kemudian berbuat baik itu selama Ramadhan saja, kemudian situasi nuansa keIslaman itu kalau bulan-bulan yang suci saja atau hari-hari yang berkaitan dengan perayaan Islam saja, selain itu tidak perlu. Kita kembali ke budaya masing-masing.

Padahal, Islam datang itu kan untuk memperbaiki budaya seluruh dunia, bukan sebaliknya. jadi ketika Arab rusak, begitu ada Islam jadi baik. Indonesia mestinya sama, Indonesia rusak ada Islam jadi baik. Jangan dipelintir-pelintir dong, seolah-olah Islam tidak cocok. Indonesia jadi rusak karena Islam. Tidak begitu, ini manusianya.

Banyak sekali kadang dia beragama tapi tidak paham kitab sucinya, sehingga nilai yang diangkat adalah bukan nilai agama itu tapi nilai budaya yang dicampur dengan agamanya, lalu disebut abangan. Itu yang terjadi. (Bersambung)

Editor :
Sumber : Kiblat.net
- Dilihat 4967 Kali
Berita Terkait

0 Comments