Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 25/09/2018 08:58 WIB

Adian Husaini Kritisi Model Salam Capres

Keakraban Jokowi dan Prabowo dalam pengambilan nomor urut di KPU (intagram/prabowo)
Keakraban Jokowi dan Prabowo dalam pengambilan nomor urut di KPU (intagram/prabowo)
DEPOK_DAKTA.COM - Pada 21 September 2018, usai penentuan nomor urut pasangan capres-cawapres 2019-2024, dua pasangan capres-cawapres dipersilakan menyampaikan pidatonya.  Capres Haji Joko Widodo memulai pidatonya dengan mengucapkan salam sebagai berikut: Bismillahirrahmanirrahiim, assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat malam, salam sejahtera bagi kita semuanya, om swastyastu, namo buddhaya, salam kebajikan! 
 
Lalu, setelah itu, giliran Capres Haji Prabowo Subianto membuka pidatonya dengan salam: Bismillahirrahmanirrahiim, warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita sekalian, syalom, om swastyastu, namo buddhaya, selamat malam saudara sekalian. 
 
Bagi seorang Muslim, mengucapkan salam termasuk bagian dari ibadah yang dicontohkan tata caranya oleh Nabi Muhammad saw.  Salam khas Islam itu adalah “Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”  Redaksinya pun diajarkan oleh Nabi saw. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, disebutkan bahwa beberapa sahabat pernah memberi salam kepada Rasulullah saw dengan ucapan: ‘‘Alaika as-salaam ya Rasulallah” sampai tiga kali. Mendengar itu, Rasulullah saw meluruskan salam mereka: ‘Jangan kalian berkata seperti itu. Sesungguhnya ‘alaika as-salaam itu adalah salam kepada orang mati.” 
 
Jadi, meskipun makna salam itu sama-sama baik, tetapi setiap bentuk redaksi salam, ada tempatnya masing-masing. Inilah salah satu keunikan ajaran Islam yang memiliki “uswah hasanan” (suri tauladan) yang lengkap, sampai hal yang sekecil-kecilnya.  
 
Kita patut syukuri, kedua capres Jokowi dan Prabowo dalam mengucapkan salam Islam tersebut. Apalagi, kedua capres mendahuluinya dengan ucapan bismillahirrahmaanirrahiim. Perlu diingat, dalam sejarah politik Indonesia, di era 1970-an, pernah ada kejadian aneh, seorang menteri beragama Islam tidak mau mengucapkan salam Islam. Alasannya, ia bukan menterinya orang Islam. 
 
Nama menteri itu ialah Dr. Saoed Joesoef. Ketika menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaam, Daoed Joesoef  menyatakan secara terbuka bahwa ia tidak mau mengucapkan salam secara Islam. Ketika dikritik, dia memberikan bantahannya: ”Aku katakan bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam.”  (Daoed Joesoef, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. 532). 
 
Om Swastyastu
 
Menjadi pertanyaan dan mungkin keheranan banyak orang Muslim adalah: mengapa kedua capres yang sudah sama-sama Muslim dan sudah haji itu mengucapkan salam yang redaksinya diambil dari beberapa agama? Apa dasar dan tujuannya para capres kita itu mengucapkan salam ‘sinkretis’ dari berbagai agama tersebut? Entahlah! 
 
Marilah kita telusuri makna beberapa redaksi salam tersebut.  Bagi orang Hindu, “Om Swastyastu” memang ucapan ibadah dalam agama Hindu. Seorang Hindu menjelaskan tentang makna Om Swastyastu sebagai berikut: “Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti, dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha Esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.” (http://www.mail-archive.com/hindu-dharma@itb.ac.id/msg07018.html).
 
Jadi, ungkapan Om Swastyastu adalah satu bentuk ibadah dalam agama Hindu. Dari penjelasan itu tampak bahwa ungkapan salam Hindu itu sangat terkait erat dengan konsep Tuhan dan sembahyang dalam agama Hindu. Jadi, kata “Om” dalam agama Hindu berarti “Ya Tuhan”.  Dalam buku kecil berjudul “Sembahyang, Tuntunan Bagi Umat Hindu” karya Jro Mangku I Wayan Sumerta (Denpasar: CV Dharma Duta, 2007), disebutkan sejumlah contoh doa dalam agama Hindu yang diawali dengan kata “Om”, seperti doa sebelum mandi: “OM, gangga di gangga prama gangga suke ya namah swaha”. 
 
Meskipun sama-sama menyatakan bertuhan SATU, agama-agama memiliki konsep Tuhan yang berbeda-beda tentang “Yang Satu” itu. Kaum Hindu, misalnya, mempunyai konsep dan juga sebutan-sebutan untuk Tuhan mereka secara khas. Dalam buku karya Ngakan Made Madrasuta berjudul “Tuhan, Agama dan Negara”  (Media Hindu, 2010), dijelaskan perbedaan konsep Tuhan antara Hindu, Kristen, Yahudi, dan Islam. Tentu saja penjelasan itu dalam perspektif Hindu. Menurut penulis buku ini, Tuhan dalam agama Hindu, yakni Sang Hyang Widhi tidak dapat disebut  “Allah”.  
 
Disimpulkan oleh penulis buku ini: “Membangun toleransi bukan dengan mencampuradukkan pemahaman tentang Tuhan, tetapi sebaliknya justru dengan mengakui perbedaan itu. Dalam pengertian ini, Krishna bukan Kristus, Sang Hyang Widhi bukan Allah!” (hal. 33).
 
Itulah sikap orang Hindu. Hindu punya pemahaman terhadap Tuhan mereka. Kita pun, sebagai Muslim, memiliki konsep Tuhan sendiri. Maka, sebagai Muslim, kita patut bertanya, patutkah seorang Muslim melakukan jenis ritual (mengucapkan salam) secara Hindu? Tentu kita sudah paham jawabannya! 
 
Salam Katolik
 
Dalam sebuah situs Katolik disebutkan bahwa setiap orang Katolik diwajibkan memberi salam yang berupa doa ketika memasuki rumah orang atau berjumpa dengan orang lain, tanpa memandang suku, agama, dan golongan. Dan kata-kata salam itu adalah “Damai Sejahtera bagi rumah ini” atau “Damai sejahtera bagi kamu”. (Luk. 24:36) “Dan sementara mereka bercakap-cakap tentang hal-hal itu, Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata kepada mereka: “Damai sejahtera bagi kamu!”
 
Dalam perkembangannya secara tradisi, Gereja Katolik telah mengambil kata salam secara khas yang diucapkan dalam ritus pembuka Tata Perayaan Ekaristi, dan perayaan sabda, yakni: “Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus bersamamu” (Gratia Domini nostri Iesu Christi, et caritas Dei, et communicatio Sancti Spiritus sit cum omnibus vobis.).  Salam itu dijawab: “Dan bersama rohmu” (et cum spiritu tuo). (https://gapurawahyu.wordpress.com/2013/09/04/salam-khas-kristiani/). 
 
Namo Buddhaya
 
Dalam sebuah situs agama Budha ditulis: "Namo Buddhaya" bukanlah salam, tetapi ungkapan penghormatan seseorang kepada Buddha. Artinya adalah Terpujilah Buddha (yang telah merealisasi pencerahan Agung). Ungkapan ini amat umumnya diucapkan sebelum membabarkan Dhamma atau tulisan Dhamma. Di Indonesia, umat Buddha sering mengucapkannya sebagai salam Buddhis. Jadi sungguh sangat salah kaprah dan keluar dari makna sesungguhnya. Saya pun seringkali memulai tulisan kepada teman Buddhist, dengan kata "Namo Buddhaya", tapi bukan sebagai salam, melainkan sebagai ungkapan penghormatan kepada Buddha, dan diharapkan menginspirasikan kualitas Buddha kepada teman yang saya tulisi.” (http://buddhistonline.com/sejarah/sejarah2.shtml). 
 
Jadi, menurut pemeluk Budha, ungkapan ‘namo buddhaya’ adalah satu bentuk pujian kepada Tuhan-nya orang Budha. Dengan demikian, sepatutnya orang Muslim tidak melaksanakan ritual ini. 
 
Siapakah Buddha menurut orang Budha? Dalam sebuah buku bertajuk Kumpulan Ceramah Bhikkhu Uttamo Thera (Buku 5), Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sehari-Hari, dijelaskan mengapa para dewa tidak mau turun dari sorga dan menemui manusia: ”Sang Buddha yang telah wafat hampir 3000 tahun lamanya itu sebenarnya baru sekejap saja untuk alam dewa. Hanya saja, diceritakan dalam Dhamma, alam manusia ini sungguh kotor dan busuk bagi para dewa. Para dewa tidak berminat mendekati manusia. Dari jarak jauh pun mereka sudah terganggu dengan bau manusia.” (hal. 21). 
 
Seorang Muslim adalah seorang yang telah mengikrarkan diri: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Persaksian itu bukan hal kecil. Ungkapan syahadah adalah sesuatu yang sangat berat. Banyak kaum musyrik Arab, kaum Yahudi, dan Kristen, di masa Nabi Muhammad saw dan manusia-manusia sesudahnya, menolak untuk “sekedar” bersyahadat. 
 
Jadi, setiap Muslim sudah berikrar, bahwa Tuhan-nya adalah Allah SWT; bukan tuyul, genderuwo, buto ijo, atau kuntilanak! Dalam agama Islam, nama Tuhan bukan merupakan hasil konsensus atau rekaan manusia tertentu. Nama Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu. Karena itulah, orang Islam, dimana saja menyebut nama Tuhan dengan lafal yang sama, yaitu ‘Allah’. 
 
Muslim yakin, melalui utusan-Nya, Tuhan Yang Maha Esa itu telah mengenalkan dirinya, dengan nama Allah: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (Tuhan) selain Aku (Allah), maka abdikan dirimu kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah shalat untuk mengingati Aku (Allah)!” (QS Thaha (20):14).
 
Ajaran Islam tentang nama Tuhan ini berbeda dengan ajaran Kristen yang membolehkan pemeluknya memanggil nama Tuhan, dengan berbagai sebutan! Seorang pendeta Kristen, Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., dalam bukunya, berjudul “Allah” dalam Kekristenan, Apakah Salah, (2009), menyeru, agar kaum Kristen meninggalkan sebutan Allah untuk nama Tuhan mereka: “Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa: Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik (Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi Sinkretisme." (hal. 43).
 
Negara-negara Barat, Tuhan Kristen disebut ’God’ atau ’Lord’. Itu sebutan; bukan nama Tuhan! Di Bali, kaum Hindu memprotes penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan sebutan Tuhan dalam agama Hindu, seperti ”Sang Hyang Yesus”, ”Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria,” dan sebagainya.” (Majalah Media Hindu, edisi November 2011). 
 
Sementara itu, kaum Yahudi, hingga kini, masih terus berdebat, bagaimana memanggil Tuhan mereka. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000). Harold Bloom, menulis, bahwa “YHWH” adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005).
 
Menanggapi polemic tentang nama Tuhan dalam agama Kristen, seorang pendeta Kristen, bernama Pdt. Parhusip menulis, bahwa kaum Kristen boleh menyebut nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hati mereka. Ia menegaskan dalam bukunya yang berjudul “Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh”: ”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis…! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing.”
 
Sementara itu, orang Budha pun tidak memiliki nama Tuhan tertentu. Dalam sebuah buku berjudul Be Buddhist Be Happy, ditulis: "Seorang umat Buddha meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan sebutan: "Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam", yang artinya: Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan Yang Maha Esa  di dalam agama Buddha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak berpribadi, suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. (Jo Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005)," hlm.  28-29). 
 
Ada Nama Allah
 
Jadi, tentang “NAMA TUHAN”, masing-masing agama punya ajaran yang berbeda. Bagi seorang Muslim, soal NAMA TUHAN menjadi ajaran pokok, sebab nama Tuhan berasal dari wahyu, bukan hasil rekayasa manusia!  Sementara itu, dalam redaksi salam resmi Islam (Assalaamu’alaikum warahmatullahi wa-barakaatuh), tersebut dengan tegas nama “Allah”. 
 
Nama Allah itu adalah nama Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Suci. Nama itu tidak patut disandingkan dengan nama-nama lain yang tidak dikenalkan oleh Sang Pencipta itu sendiri.  Salam Islam itu bermakna: “Keselamatan semoga terlimpah Anda semua, juga semoga mendapat rahmat Allah dan berkah-Nya!” Salam Islam itu sama sekali tidak bisa diganti dengan ungkapan lain, dengan mengganti kata Allah, atau redaksi yang lain. 
 
Misalnya diganti: “Assalaamu’alaikum warahmatu Yahweh wa barakaatu Jesus!” Orang Muslim tidak mungkin berani mengganti redaksi salam yang diajarkan oleh Utusan Allah SWT tersebut.  Karena itu, sebagai Muslim, kita sungguh TIDAK berharap, nantinya ada pemimpin bangsa yang beragama Islam karena ingin disebut toleran dan ingin diterima semua pihak lalu bikin salam ‘sinkretis’: “Keselamatan atas Anda semua, beserta rahmat Allah Subhaanahu Wa-ta’ala, dalam kasih Tuhan Jesus, di bawah lindungan Sang Hyang Widhi atau Yahweh, dan terpujilah Buddha, juga Tuhan apa saja yang disembah manusia di seantero Nusantara!” 
 
Sebagai Muslim dan rakyat biasa, kita hanya bisa mengajak para pemimpin kita yang Muslim, untuk merenungkan makna ayat al-Quran berikut ini:  “Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat munkar. Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak.” (Terjemah QS Maryam: 88-91).**
 
 
Dr. Adian Husaini
Ketua Program Doktor Pendidikan
UIKA Bogor
 
 
Editor :
Sumber : Dr. Adian Husaini
- Dilihat 5493 Kali
Berita Terkait

0 Comments