Opini /
Follow daktacom Like Like
Sabtu, 25/08/2018 14:09 WIB

Membangun Pola Komunikasi Efektif dalam Capaian Kepesertaan JKN KIS

Peserta JKN
Peserta JKN
DAKTA.COM - Oleh: Jaenuddin Ishaq
 
Kesehatan menjadi hak dasar seseorang yang harus dilindungi oleh negara. Keberadaannya diatur oleh instrumen negara.
 
Kesehatan sebagai hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 
Di Indonesia, keberadaan pelayanan kesehatan perlahan melaju dan membuktikan adanya semangat untuk memberikan pelayanan kesahatan yang berkualitas. 
 
Hadirnya program jaminan pemeliharaan kesehatan atau yang dikenal dengan nama Asuransi Kesehatan (Askes), belakangan pada 1 Januari 2014 dileburkan berganti nama menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, menjadi tonggak pelayanan kesehatan yang prima dengan genap saat ini berusia 50 tahun.
 
Dengan semangat yang kuat, tentunya dilakukan untuk memberikan terobosan pelayanan seperti tingkat layanan dan pemanfaatan teknologi menjadi salah satu upaya mengikuti perkembangan saat ini. 
 
Namun di usia setengah abad itu, belum secara menyeluruh bagi masyarakat untuk menjadi bagian peserta BPJS Kesehatan (JKN - KIS). Dari data yang ada menyebutkan jumlah peserta JKN-KIS hingga 23 Februari 2018, baru mencapai 193.144.982 jiwa atau lebih dari 74 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu diharapakan terus meningkat untuk menuju Universal Health Coverage terwujud pada 2019 mendatang.
 
Sehingga dalam hal ini, evaluasi yang harus yang dilakukan minimal adanya partisipasi aktif dari masyarakat atau paling tidak peserta BPJS Kesehatan yang sudah merasakan manfaat mengikuti program tersebut untuk menyebarluaskan kepada masyarakat lainnya. 
 
Hal itu juga dapat dilakukan misalnya, dengan melibatkan forum-forum organisasi masyarakat, kepemudaan, dan majelis taklim untuk menjadi bagian corong sosialisasi dan informasi di tengah masyarakat. 
 
Pemahaman Rendah Tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan
 
Perkembangan saat ini, tidak dipungkiri masih saja masyarakat antipati dengan program jaminan kesehatan. Mereka menganggap akan mempersulit dirinya jika harus berurusan pihak lain, termasuk juga saat mengurus administrasi, pembayaran tagihan iuran, dan lainnya. 
 
Meskipun sejauh ini, kita akui BPJS Kesehatan berupaya maksimal meningkatan pelayanan program dan fasilitas kesehatan. Namun seakan masih menjadi momok menakutkan, di tengah masyarakat kita dengan bayang-bayang harus bangun pagi buta demi mengambil nomor antrean di kantor BPJS Kesehatan. 
 
Hal itu mungkin tidak saja terjadi diwilayah perdesaan, tetapi bisa di perkotaan dengan segala tantangan dan dinamika perkembangan yang ada untuk bersaing dengan program jaminan kesehatan dari perusahaan swasta. 
 
Sebagai contoh di Kota Bekasi, Jawa Barat, kasus semacam itu penulis masih melihat dengan berbagai alasan di tengah masyarakat untuk menunda melakukan pembayaran tagihan iuran bulan. Sehingga hal ini juga dapat dikategorikan rendahnya pemahaman tentang program jaminan kesehatan. 
 
Apalagi di Kota Bekasi, sejak 2017 pemerintah daerah meluncurkan program jaminan kesehatan bernama Kartu Sehat berbasis NIK tanpa rujukan dan gratis berobat ke 37 Rumah Sakit (termasuk RSUD) dan 17 rumah sakit di luar Kota Bekasi termasuk RSCM Jakarta, RS. Haji Pondok Gede dan RS. Persahabatan - Jakarta. 
 
Tentunya ini dengan segala tantangan, penulis melihat  BPJS Kesehatan cukup memiliki kekuatan dengan segala prestasi yang ada dibandingkan program kesehatan Kartu Sehat yang dikeluarkan pemerintah daerah Kota Bekasi. 
 
Namun memang harus ada pendekatan yang aktif dan komunikasi searah dalam menghasilkan tujuan yang diinginkan, termasuk juga dalam meningkatkan kepesertaan anggota. Apalagi secara kebijakan, antara BPJS Kesehatan dengan program jaminan Kartu Sehat itu berbeda, baik dari cakupan layanan maupun fasilitas kesehatan. 
 
Komunikasi Dua Arah
 
Dalam ilmu komunikasi kita mengenal adanya istilah komunukasi dua arah dan satu arah. Terciptanya komunikasi yang baik, tentu menjadi dambaan semua orang. Hal itulah yang kemudian banyak digaungkan oleh para ahli komunikasi, untuk memperhatikan pola komunikasi efektif yang dibangun dengan lawan bicara. 
 
Dalam berbagai literasi dijelaskan, komunikasi efektif adalah pertukaran informasi, ide dan perasaan yang menghasilkan perubahan sikap sehingga terjalin sebuah hubungan baik antara pemberi pesan dan penerima pesan. Pengukuran efektifitas dari suatu proses komunikasi dapat dilihat dari tercapainya tujuan si pengirim pesan.
 
Tujuan dari Komunikasi Efektif sebenarnya adalah memberikan kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi informasi dan penerima informasi sehingga bahasa yang digunakan oleh pemberi informsi lebih jelas dan lengkap, serta dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh penerima informasi, atau komunikan. Agar pengiriman informasi dan umpan balik atau feed back dapat seimbang sehingga tidak terjadi monoton. Selain itu komunikasi efektif dapat melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik.
 
Hal inilah kemudian menjadi bagian penting yang harus diperhatikan seseorang, termasuk kader JKN-KIS dalam menjalankan tugasnya. Sehingga hal ini di antara tugas kader JKN-KIS agar mampu 'menarik' masyarakat untuk aktif mengikuti program pelayanan BPJS Kesehatan.
 
Secara pasti dengan dinamika di daerah masing-masing, pola komunikasi yang handal sangat dibutuhkan. Kader JKN-KIS tidak saja sebagai 'penyuluh', tapi juga menjadi garda terdepan di tengah masyarakat untuk menunjukan eksistensi dan penyampai informasi seputar layanan dan kepesertaan BPJS Kesehatan. 
 
Apalagi dari berbagai data menyebutkan, jumlah kader JKN-KIS sudah mencapai 1.689 orang. Hal inilah dapat dilihat sebagai investasi, untuk menjadi corong informasi yang akurat seputar pelayanan kesehatan. 
 
Sehingga kehadiran kader JKN-KIS diharapkan, mampu meningkatkan pertumbuhan jumlah kepesertaan dan meningkatkan kolektabilitas iuran BPJS Kesehatan bagi segmen peserta informal atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
 
Melalui artikel ini, penulis akhirnya ingin mengingatkan akan pentingnya membangun pola komunikasi yang baik dalam meningkatkan kepesertaan jaminan kesehatan. Ini memang tidak saja menjadi tugas kader JKN-KIS, tapi juga seluruh masyarakat dalam mendukung hak dasar yakni pelayanan kesehatan yang harus dirasakan oleh semua anak bangsa. 
 
Tugasnya memang tidak ringan, tetapi perlu kerja bersama dalam mendukung capaian program target 90 persen cakupan kesehatan semesta pada 2019 mendatang. SEMOGA
Reporter :
Editor :
- Dilihat 2930 Kali
Berita Terkait

0 Comments