Senin, 02/07/2018 09:17 WIB
Belajar Adab Berjuang dari Tiga Tokoh
DAKTA.COM - Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tanggal 24 Mei 2018, saya mendapatkan undangan dari Dirjen Kebudayaan Kemendikbud untuk menghadiri satu diskusi membahas tiga tokoh, yakni KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan Mohammad Natsir. Pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Dr. Hajriyanto Tohari, dan Natsir Zubaidi.
Tiga tokoh yang dibahas dalam diskusi tersebut adalah sosok-sosok besar dalam sejarah Indonesia. Pemerintah memberi penghargaan mereka sebagai pahlawan nasional. Dalam diskusi tersebut, saya kebagian tugas membahas tentang sosok Mohammad Natsir. Saya menyampaikan paparan tentang peran Mohammad Natsir dalam kaitan dengan pembangunan jiwa bangsa. Namun, saya pun tidak melewatkan kesempatan menyinggung peran penting sosok Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Ahmad Dahlan dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.
Disamping kepeloporan dalam pemikiran dan ide perjuangan, yang luar biasa pada ketiga tokoh itu adalah keteladanan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan perjuangan. Mereka satu kata dalam ucapan dan tindakan. Kyai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai ulama dan pejuang yang berperan sentral dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Keilmuan Kyai Hasyim tidak diragukan. Berbagai kitab beliau tulis. Tahun 1899, beliau mendirikan Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur. Kiprah Kyai Hasyim dalam bidang keilmuan, pendidikan, dan kenegaraan, menunjukkan keteladanan beliau dalam memadukan aspek keilmuan, pendidikan, dan perjuangan.
Nama Kyai Hasyim terpateri dengan tinta emas melalui fatwa jihadnya yang sangat fenomenal pada Oktober 1945. Isinya menegaskan, bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah kewajiban bagi kaum Muslimin. Fatwa itu telah menggerakkan ribuan kyai dan santri untuk berjihad melawan tentara Sekutu, sebagai pemenang Perang Dunia II. Para kyai dan santri itu tidak gentar sedikit pun menghadapi gempuran pesawat tempur, tank, dan meriam Sekutu. Akhirnya, seorang jenderal Sekutu pun mati di Surabaya.
Peristiwa yang dikenal dalam sejarah sebagai Hari Pahlawan itu, menjadi salah satu indikator penting hebatnya kualitas pendidikan pesantren. Para santri bukan hanya dididik dengan ilmu-ilmu agama, tetapi juga dibekali dengan ilmu dan semangat perjuangan untuk membela kebenaran. Mereka taat kepada para ulama, bersemangat dalam ibadah, dan memiliki jiwa pengorbanan yang sangat tinggi dalam perjuangan. Itulah kunci kemenangan.
Memudar
Akan tetapi, sayangnya, jiwa cinta perjuangan dan pengorbanan yang ditunjukkan oleh generasi 45 itu kemudian memudar, hanya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Inilah yang dicermati oleh Mohammad Natsir. Hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, tepatnya pada 17 Agustus 1951, Natsir menulis artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”
Artikel Mohammad Natsir ini sangat penting untuk terus kita renungkan. Sebab, artikel itu berkaitan dengan kondisi jiwa bangsa kita yang sudah berubah, hanya beberapa tahun saja, setelah kita merdeka.
Sebenarnya, bangsa Indonesia pun sadar, bahwa eksistensi dan kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kondisi jiwanya. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” menyerukan: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Dalam bukunya, yang berjudul Pribadi, Buya Hamka mengutip sebuah pepatah Arab yang menyatakan: “Aqbil ‘ala an-nafsi, wa-ahsin fadhaailahaa. Fainnaka bin-nafsi laa bil-jismi insaanun.” (Fokuskan dirimu pada jiwamu, dan sempurnakanlah keutamaan-keutamaannya. Sebab, pada hakikatnya, anda disebut manusia, karena jiwa anda, bukan karena tubuh anda). Dan, al-Quran al-Karim sudah menegaskan: “Sungguh sukses orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh gagal orang yang merusak jiwanya.” (QS asy-Syams: 9-10).
Melalui artikelnya itu, Mohammad Natsir mengingatkan bangsa Indonesia:
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau.
Mengapa keadaan berubah demikian?
Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya:
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal. Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!… ”
Itulah kata-kata tajam dari seorang tokoh dan penulis hebat seperti Mohammad Natsir. Silakan dibaca berulang kali dan direnungkan ujung petikan kata-kata Mohammad Natsir itu: “Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!… ”
Kondisi jiwa bangsa inilah yang harus menjadi kepedulian para tokoh bangsa. Mereka harus merumuskan konsep pembangunan jiwa bangsa yang serius. Bukan hanya membangun jembatan atau jalan tol. Infrastruktur fisik penting. Tapi, infrastruktur jiwa yang kokoh yang penting lagi bagi ketahanan suatu bangsa.
Sepanjang hidupnya, Mohammad Natsir bergelut dengan perjuangan membangun jiwa bangsa melalui bidang pendidikan dan dakwah. Ketika Orde Baru tidak bersedia merehabilitasi Partai Islam Masyumi – bahkan kemudian menindas tokoh-tokohnya, termasuk Mohammad Natsir – maka Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tahun 1967. Natsir sangat serius dalam membina para cendekiawan muslim dan menghidupkan gerakan dakwah di kampus, pesantren, dan masyarakat. Bersama tokoh-tokoh Nasional, seperti Bung Hatta, Natsir memelopori pendirian sejumlah universitas Islam.
Perjuangan tidak pernah berhenti. Hingga wafatnya, tahun 1993, Natsir terus berpikir dan berjuang untuk kebaikan umat dan bangsa Indonesia. Meskipun secara formal hanya menempuh pendidikan setingkat SMA (AMS), Natsir dikenal sebagai sosok pecinta ilmu dan pegiat pendidikan. Kepeduliannya terhadap kondisi jiwa bangsa begitu besar. Kepada Amien Rais dan kawan-kawan yang mewawancarainya di akhir-akhir kehidupannya, Mohammad Natsir menyatakan: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.”
Lebih jauh, Mohammad Natsir menyatakan: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, terbitan DDII dan Labda Budi Mulia Yogyakarta).
*****
Tokoh ketiga yang perlu kita teladani adab perjuangannya adalah KH Ahmad Dahlan. Sekelumit kisah Kyai Dahlan berikut ini perlu kita simak. Dalam pidatonya, saat pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Jakarta, 25 November 1962, di Jakarta, Bung Karno menyatakan: “Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil (mengikuti. Pen.) kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun 46 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah; tahun ’62 ini saya berkata, moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhaanahu wa-Ta’ala, dan jikalau saya meninggal supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”
Dalam pidatonya itu, Bung Karno mengaku kagum dengan Kyai Ahmad Dahlan sejak usia muda, tatkala masih berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto. Karena terpesona dengan ceramah-ceramah Kyai Dahlan, maka Soekarno muda berkali-kali mengikuti tabligh Kyai Dahlan. “… saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama kali berjumpa dan terpukau – dalam arti yang baik – oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan,” kata Presiden Soekarno. Karena itu, lanjut Bung Karno, “saya ngintil – ngintil artinya mengikuti – Kyai Ahmad Dahlan itu.”
Itulah Kyai Dahlan yang membuat Soekarno muda terpukau dan ‘ngintil’ kemana saja Kyai Dahlan berceramah. Seperti apakah pribadi Kyai Dahlan yang mempesona itu? Solichin Salam, dalam bukunya, K.H. Ahmad Dahlan, Reformer Islam Indonesia (1963), mencatat pribadi Kyai Dahlan sebagai berikut: “Kebesaran Kyai Dahlan tidaklah terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan terletak pada kebesaran jiwanya, kebesaran pribadinya. Dengan bermodalkan kebesaran jiwanya dan disertai keichlasan dalam berjuang dan berkorban inilah yang menyebabkan segala gerak-langkahnya, amal usaha dan perjuangannya senantiasa berhasil.”
Selanjutnya dikatakan, “Pribadi manusia Ahmad Dahlan ialah pribadi manusia yang sepi ing pamrih, tapi rame ing gawe. Manusia yang ikhlas, manusia yang jernih, jauh dari rasa dendam dan dengki. Kyai Ahmad Dahlan adalah manusia yang telah matang jiwanya, karenanya beliau dapat tenang dalam hidupnya.”
Semangat perjuangan dan pengorbanan Kyai Dahlan sungguh luar biasa. Satu kisah, saat Kyai Dahlan jatuh sakit, seorang dokter Belanda menasehatinya untuk beristirahat. Kata si Dokter: “Saya mengetahui apa yang menjadi cita-cita Tuan, dan sebagai seorang dokter, saya pun mengetahui penyakit yang kyai derita. Penyakit kyai ini tidak memerlukan tetirah keluar kota, tetapi cukup di rumah saja. Sakit kyai ini hanya memerlukan mengaso, lain tidak.”
Tetapi, kyai Dahlan tidak memperhatikan nasehat dokter tersebut. Ia terus berkeliling daerah, bertabligh, tanpa peduli kesehatannya. Tahun 1922, menjelang wafatnya, ia pergi 17 kali meninggalkan Yogyakarta untuk berbagai kegiatan dakwah. Jiwa yang bersih dan kuat itulah yang terus dipancarkan oleh seorang Kyai Dahlan kepada seluruh warga Muhammadiyah, bahkan seluruh bangsa Indonesia.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga dari adab perjuangan tiga tokoh yang luar bisa tersebut. Aamiin.
(Selat Sunda, 1 Juli 2018).
Editor | : | |
Sumber | : | Rilis Adian Husaini |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments