Pendidikan Ulama Muhammadiyah (2)
Jika lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi kita belum mampu melahirkan ulama yang ideal, maka kita perlu menelaah kualitas dosen dan kurikulum yang diajarkan.
Kita ingat rumusan penting dari Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, bahwa “rakyat rusak gara-gara penguasa rusak; penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit cinta kedudukan dan cinta harta”. Maka, jika umat Islam saat ini mengeluhkan kerusakan penguasa, kita perlu berkaca pada diri kita, bagaimana dengan kondisi ulama-ulama kita; atau orang-orang yang saat ini diposisikan sebagai ulama? Bagaimanakah kualitas keilmuan dan akhlak mereka? Apakah mereka cinta jabatan dan harta?
Politik memang masalah penting. Problema politik umat merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama di zamannya berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat.
Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, bahwasanya Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).
Dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama, di Makkah, 1977, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah menyampaikan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah keilmuan (the problem of knowledge). Tantangan itu bukan karena ketidaktahuan atau kebodohan (ignorance) tetapi karena kerancuan ilmu (confusion of knowledge) yang disebabkan masuknya ilmu-ilmu yang telah disekulerkan oleh peradaban Barat. Ilmu-ilmu semacam inilah yang kemudian membawa kerancuan dan kekacauan berpikir di tengah umat Islam. Sebab, mereka tidak bisa lagi memahami konsep-konsep Islam dengan tepat.
Dalam pengantarnya untuk buku Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), al-Attas menyebutkan bahwa salah satu masalah besar yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini adalah masalah eksternal, berupa serbuan pemikiran-pemikiran yang merusak. “It is true that the Muslim mind is now undergoing profound infiltration of cultural and intelelectual elements alien to Islam.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979).
Jika lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi kita belum mampu melahirkan ulama yang ideal, maka kita perlu menelaah kualitas dosen dan kurikulum yang diajarkan. Sungguh musibah dan kerugian besar jika setiap tahun kita melahirkan ribuan sarjana agama, tetapi sedikit dari mereka yang berkualifikasi sebagai ulama-ulama yang shalih dan berilmu tinggi yang mampu menjadi pemimpin di tengah masyarakatnya. Lebih besar lagi dampak buruknya, jika dari rahim perguruan Tinggi Islam, lahir sarjana-sarjana yang aktif merusak ajaran Islam dan berakhlak buruk.
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah. Sebab, kerusakan ilmu membawa dampak yang sangat serius, yakni kerancuan mana benar dan mana yang salah, mana yang tauhid dan mana yang syirik, mana yang halal dan mana yang haram, dan sebagainya.
Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam. Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja-raja Budha.
Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.
Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.
Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak berbuat sungguh-sungguh untuk menanggulangi penyimpangan aqidah Islam.
Jadi, dalam perjuangan, kita tidak boleh mengabaikan salah satu aspek kehidupan dan harus menempatkan sesuatu pada tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, adab, hikmah, agama, dan sebagainya.
Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.
Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan.
Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya.
Oleh karena itu, salah satu kewajiban umat Islam terpenting saat ini adalah menyusun dan menerapkan sistem pendidikan yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas ulama, yang mampu melanjutkan perjuangan menegakkan misi kenabian. Kita berharap, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, al-Irsyad, MIUMI, dan organisasi Islam lainnya terus berusaha keras untuk melahirkan ulama-ulama yang hebat, yang mampu menjadi pemimpin dan teladan bagi masyarakat.
Bisa jadi, program pendidikan ulama unggulan memang memerlukan anggaran yang sangat besar. Sebagai perbandingan, jika untuk mencetak seorang doktor bidang sains dan teknologi di Inggris perlukan anggaran di atas Rp 1 milyar, maka sepatutnya untuk mencetak seorang ulama unggulan berkualitas internasional, diperlukan anggaran yang lebih besar dari itu. Jika umat Islam memahami arti penting kehadiran ulama pewaris Nabi, maka anggaran itu insyaAllah bisa dipenuhi. Aneh, jika untuk melaksanakan demonstrasi, konferensi internasional, dan muktamar organisasi bisa dianggarkan puluhan milyar rupiah, tetapi untuk mencetak ulama justru tidak ada anggarannya. Wallahu A’lam.*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM, dakta.com dan hidayatullah.com
Editor : Imran Nasution
Sumber : Hidayatullah.com
Editor | : |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments