Nasional / Hukum dan Kriminal /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 24/05/2018 15:21 WIB

Pengamat Nilai Definisi Teroris Bukan Berdasarkan Voting

Ilustrasi Densus 88 menangkap teroris
Ilustrasi Densus 88 menangkap teroris
JAKARTA, DAKTA.COM - Menyikapi dinamika perdebatan Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) terkait definisi terorisme. Pengamat Terorisme & Dir CIIA (The Comunity of Ideological Islamic Analyst) Harits Abu Ulya memberikan tanggapan.
 
Harits berharap finalisasi konten revisi adalah produk musyawarah mufakat, bukan voting.
 
"Tolak ukur kebenaran definisi atau bukan ditentukan oleh suara terbanyak melainkan kembali pada kajian obyektif terhadap definisi itu sendiri berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan," kata Harits dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/5).
 
Menurutnya, sebuah definisi layak di katagorikan sebagai sebuah definisi yang benar jika ia memenuhi unsur-unsur pokok definisi. Pertama, definisinya komprehensif, artinya dengan definisi yang ada sudah mencakup dan meliputi semua hakikat dari apa yang dimaksud.
 
Kedua, dengan definisi yang ada itu sekaligus membatasi dan mengunci tidak butuhnya pada definisi lain masuk kedalamnya. Jika sebuah definisi masih kurang dan membutuhkan dan memungkinkan definisi tambahan maka ia tidak komprehensif dan tidak bisa mencegah tambahan baru definisi dari luar terhadap apa yang sudah termaktub.
 
Ketiga, definisi tersebut dituangkan dengan redaksi yang jauh dari multitafsir (dengan bahasa hukum). Diksi-diksi kalimatnya terukur, jelas, tegas, dan bisa dipahami.
 
"Oleh karena itu voting bukan metode untuk menentukan kebenaran sebuah definisi. Tapi kembali kepada siapa yang bisa menghadirkan definisi dan definisi yang paling mendekati kebenaran itu tolak ukurnya," ucapnya.
 
Ia melihat dari dua alternatif definisi yang mengurucut menurutnya definisi Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan. Karena motif dan tujuan terakomodir didalamnya. Karena motif dan tujuan terakomodir di dalamnya.
 
Dengan masuknya motif dan tujuan, kata Harits, itu membatasi dan memberikan rambu-rambu bahwa tidak setiap aksi kekerasan bisa dikatagorikan sebagai aksi terorisme. Dan dengan demikian bisa mereduksi potensi subyektifitas penafsiran dilapangan dan terjadinya abusse of power.
 
"Perlu diingat bahwa definisi akan berimplikasi pada pasal-pasal derivat dibawahnya. Anggota parlemen saat ini diuji kejujuran dan obyektifitas serta transparasinya. Karena ini bicara untuk kepentingan negara bukan untuk kepentingan kekuasaan atau kepentingan opurtunis lainnya," pungkasnya. **
 
Editor :
Sumber : Harits Abu Ulya
- Dilihat 4134 Kali
Berita Terkait

0 Comments