Pelatihan Pemikiran Islam di Berbagai Kota (bagian ke 2)
Oleh: Dr. Adian Husaini
CATATAN Akhir Pekan ke-400 kali ini masih melanjutkan kisah perjalanan darat (roadshow) ke berbagai kota pada awal Mei 2015. Pada 4 Mei 2015, pukul 19.30-21.30, masih di Kota Yogyakarta, saya mendapat kesempatan mengisi ceramah umum di Masjid Jogokaryan. Temanya tentang Pendidikan Keluarga. Saya kembali menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik, sebagai guru yang utama bagi anak-anaknya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Abbas r.a. bahwa makna QS at-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “addibūhum wa ‘allimūhum!”. Didiklah dirimu dan keluargamu agar menjadi manusia yang beradab dan berilmu. Jadi, “adab” dan “ilmu” adalah dua kata kunci dalam keselamatan kita dan keluarga kita dari api neraka.
Dikutip dalam Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, bahwa Imam asy-Syafii – rahimahullah – menyatakan, beliau mengejar adab seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang. Begitu pentingnya masalah “adab” ini sehingga menjadi landasan penting keselamatan kita di dunia dan akhirat.
Tentulah kita bertanya, apakah dunia pendidikan kita – mulai keluarga, sekolah, pesantren, madrasah, perguruan tinggi, dan sebagainya – sudah menekankan masalah adab ini? Adab adalah “pandangan dan sikap yang betul” terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah. Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai “right action”. Dalam bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai “sopan santun Islami”. Orang beradab tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam tatanan wujud di alam ini.
Al-Quran memberikan contoh keteladanan Luqman al-Hakim sebagai teladan dalam mendidik anaknya (QS Luqman:12-19). Luqman telah mendapatkan hikmah dari Allah, yang dengan itu, ia bisa menerapkan pendidikan yang tepat pada anaknya. Nasehat-nasehat Luqman memberikan pelajaran berharga tentang adab ini, dimulai dari adab kepada Allah Subhanahu Wata’ala: “Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar!”
Sekali lagi, kita renungkan, “syirik adalah kezaliman yang besar!” Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab kepada Allah. Syirik adalah bentuk kekurangajaran yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syirik disebut zalim karena tidak “meletakkan” Allah pada tempatnya, sebagai al-Khaliq. Syirik itu hakekatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. Karena itu, riya’ disebut sebagai “syirik kecil” karena mempersembahkan amal perbuatan kepada makhluk; mengharapkan pujian dari makhluk; bukan mengharap pujian dan ridha dari al-Khaliq, Allah Subhanahu Wata’ala.
Cobalah kita bedah hati kita masing-masing. Masih adakah terbersit noda-noda syirik itu? Astaghfirullah… Mungkin akan kita jumpai betapa mudahnya noda-noda syirik kecil itu bersemayam dalam hati kita. “Jangan syirik, anakku! Jangan sekutukan Allah dengan apa pun!” Itulah nasehat Luqman. Begitu dalam maknanya. Inilah adab tertinggi kepada Allah!
Kini, tengoklah apa yang terjadi di sekitar kita. Pemerintah dan banyak kalangan orang cerdik pandai berbicara tentang korupsi, membenci dan mengecam korupsi. Mereka bicara tentang kemanusiaan; tentang kezaliman pada sesama manusia. Korupsi adalah bentuk kezaliman kepada rakyat, karena hak rakyat atas hartanya dirampas oleh penyelenggara negara.
Korupsi harta itu zalim, dan harus dijatuhi sanksi yang berat, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Menzalimi sesama manusia pun merupakan tindakan kejahatan. Pelakunya akan dikejar pertanggungjawaban, sampai ke akhirat. Jika urusannya tidak tuntas di dunia, maka orang yang terzalimi akan mendapatkan limpahan pahala dari pihak yang menzalimi.
Tetapi, yang aneh, banyak orang enggan bicara tentang korupsi dalam bentuk kemusyrikan, yang sejatinya merupakan bentuk kezaliman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Orang musyrik telah merampas hak Allah, sebagai satu-satunya Dzat Yang berhak disembah, ditaati aturan-aturan-Nya, dan yang paling berhak untuk dicintai melebihi apa pun (QS at-Taubah:24). Maka, pada hakikatnya, sungguh aneh, jika manusia dikecam karena merampas hak sesama manusia, tetapi justru dibiarkan untuk merampas hak Tuhan, dan difasilitasi untuk menyebarkan paham-paham yang melecehkan kedudukan Tuhan.
“Katakanlah: jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS at-Taubah:24).
Itulah adab kepada Allah! Meletakkan kecintaan kepada makhluk lebih tinggi saja di atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, itu sudah mendapatkan ancaman serius dari Allah. Sebab, itu tindakan yang tidak pantas. Bagaimana mungkin, manusia yang tidak punya apa-apa, lalu merasa memiliki dirinya, dan merasa leluasa menggunakan apa pun miliknya sesuai kehendak hawa nafsunya. Di zaman ini, kita bisa dengan mudah menjumpai manusia-manusia yang tidak punya adab kepada Tuhan-nya dan bahkan berani menantang Tuhan Yang Maha Esa.
Allah Subhanahu Wata’ala telah mengharamkan tindakan zina. Lalu, manusia-manusia modern ini berani menantang Tuhan dengan menyatakan, bahwa zina adalah hak asasi manusia; bahwa zina bukan kejahatan! Bahkan, sebagian penguasa kemudian berencana melegalkan praktik perzinahan dengan memberikan sertifikat kepada para pelacur. Allah Subhanahu Wata’ala mengharamkan khamr. Lalu, datang manusia-manusia yang sok pintar berkata, “Khamr itu masih diperlukan untuk menambah pendapatan Negara!” Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan, tutuplah aurat! Tetapi, ada diantara manusia yang kemudian berani menantang Tuhan dengan sengaja mengumbar aurat. Sebagian lagi sengaja menggelar kontes dan tari-tari telanjang. Katanya, itu demi peraturan. Katanya lagi, itu demi seni. Na’udzubillah.
Jadi, betapa dalamnya makna nasehat Luqman pada anaknya, “Jangan syirik kepada Allah, sebab syirik itu kezaliman yang besar!”
Inilah adab yang pertama kali harus ditanamkan – bukan sekedar diajarkan – kepada diri dan keluarga kita. Yakni, adab kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Setelah itu, Luqman menasehati anaknya agar beradab kepada orang tua, khususnya kepada Ibu-nya. Di era modern kini, memiliki anak yang beradab kepada orang tua, sangatlah tinggi nilainya. Di sini diperlukan kesungguhan orang tua untuk menjadikan dirinya sebagai “guru terbaik”, teladan terbaik, bagi anaknya. Maka, wajiblah orang tua memahami masalah adab dan ilmu, agar bisa melaksanakan kewajiban mendidik keluarganya dengan baik.
Kita menyaksikan, tidak sedikit orang tua yang tidak paham akan kewajiban pendidikan keluarga ini. Ia menyangka, setelah selesai kuliah, lalu menikah dan punya keturunan, kewajibannya hanyalah mencari uang untuk menyekolahkan sampai mengkuliahkan anak-anaknya. Padahal, tugas utama pendidikan anak itu ada pada dirinya. Fenomena menjamurnya majelis taklim Ibu-ibu patut kita syukuri. Tetapi, jangan dilupakan, ayah tetap sebagai penanggung jawab utama pendidikan keluarga.
Adab berikutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya adalah kesadaran Ihsan. Bahwasanya, Allah senantiasa mengawasi dirinya, dimana pun berada. Sekecil apa pun suatu benda, dan di tempat gelap sekali pun, seperti dalam goa, Allah pasti mengetahui. Menanamkan kesadaran Ihsan ini perlu dilakukan terus-menerus, di setiap momentum. Sangatlah baik jika seluruh angggota keluarga secara berkala memiliki kesempatan untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah pendidikan bagi semua.
Yang menarik, pada QS Luqman ayat 17, Luqman mandidik anaknya agar menegakkan shalat dan menyiapkan anaknya menjadi pejuang dakwah, yang senantiasa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Kesadaran akan tanggung jawab, dan keberanian, serta kesanggupan untuk mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar ini mengisyaratkan pentingnya anak-anak disiapkan dengan berbagai bekal, khususnya kekuatan ilmu dan kekuatan fisiknya. Anak-anak muslim wajib memiliki ilmu dan fisik yang mumpuni, sehingga mereka mampu mengemban perjuangan dakwah dengan baik; lebih baik dari generasi orangtuanya.
Dalam QS al-Anfal ayat 65, Nabi Muhammad saw diperintahkan menyiapkan orang-orang mukmin untuk senantiasa siap berperang. Idealnya, kekuatan seorang muslim setara dengan 20 orang kafir. Dalam sejarah telah terbukti, bagaimana dahsyatnya generasi terbaik yang dihasilkan dari pendidikan Nabi saw. Mereka merupakan generasi terbaik yang disegani umat manusia ketika itu. Kecintaan mereka kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mengantarkan mereka menjadi generasi yang sangat mencintai ilmu dan pengorbanan. Itulah kunci kebangkitan suatu bangsa atau peradaban.
Sebagai aplikasi dari QS Luqman ayat 17 ini, sepatutnya, di masa kini, orang tua memahami potensi anak-anaknya dan mengarahkan mereka agar menjadi para pejuang di berbagai lapangan kehidupan. Terlebih, saat mereka akan memasuki bangku kuliah, perlu diberikan pemahaman, ilmu-ilmu dan peran apa yang dapat mereka lakukan dalam dakwah di masa kini dan masa mendatang.
Silakan memilih jurusan atau program studi yang diminati, tetapi pertimbangan utama adalah agar bisa melakukan dakwah dengan baik, melalui bidang studi dan keilmuan yang ditekuninya itu. Niat mencari ilmu haruslah benar, agar meraih ilmu yang bermanfaat.
Jika niatnya salah, terutama untuk mengeruk keuntungan materi, maka jangan salahkan, jika dari kampus-kampus kita, bisa bermunculan manusia-manusia serakah yang kecintaannya kepada harta dan jabatan sangat berlebihan. Apalagi, jika para pengajar di kampus tidak bisa menjadi teladan kehidupan yang mulia bagi para mahasiswanya. Niat yang salah, ketemu guru dan sistem yang rusak, akan sempurnalah kerusakannya.
Di sinilah kita memahami, betapa beratnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keluarga. Masuk sorga dan terhindar dari siksa neraka memang perjuangan berat; bukan pekerjaan sambilan. Iblis dan setan-setan pun bekerja keras untuk bisa menyesatkan manusia. Setan-setan dari kalangan manusia belajar sampai ke tingkat tertinggi agar bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Setan pun kerja keras, sehingga tampak begitu banyak keanehan dalam kehidupan. Betapa banyak orang mau masuk neraka rela membayar sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah memasukkan perjuangan melawan tipu daya setan, sebagai salah satu bentuk jihad fi-sabilillah.
Terakhir, pada QS Luqman ayat 18-19, dalam pendidikan adab kepada anaknya, Luqman mengajarkan anaknya untuk memiliki adab yang baik kepada sesama manusia. Anak perlu dididik adab, juga sopan-santun kepada sesama; jangan sombong, jangan angkuh pada sesama.
Itulah serangkaian pendidikan adab yang menjadi tanggung jawab orang tua, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman al-Hakim. Luqman telah mendapatkan hikmah dari Allah, sehingga menjadikan dirinya sebagai orang beradab dan mampu memberikan pendidikan yang benar kepada anaknya.
Kisah Luqman menginspirasi kita, bahwa pembentukan manusia beradab, sepatutnya diutamakan dalam pendidikan keluarga, dengan orang tua sebagai pendidik utamanya. Penanaman adab memerlukan keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin. Apa pun kondisi orang tua, mereka tidak boleh lepas tanggung jawab dari pendidikan anak-anaknya.
Begitulah, ceramah dan diskusi di Masjid Jogokaryan Yogyakarta, malam itu, berlangsung dengan baik. Saya terharu menyaksikan hadirin dan jamaah masjid yang begitu bersemangat menghadiri majlis ilmu itu. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesehatan. Malam itu, usai acara di Jogokaryan, saya diajak menginap di Wisma LPI Gema Insani Press, Yogya. Esoknya, usai shalat subuh, dijadwal mengisi kuliah subuh pada para santri LPI-GIP, yang merupakan para mahasiswa UGM Yogya.*/Depok, 29 Mei 2015. (Bersambung)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM, dakta.com dan hidayatullah.com
Editor | : | |
Sumber | : | Adian Husaini |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments