Nasional / Politik dan Pemerintahan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 24/05/2015 11:43 WIB

DKPP: Peran Masyarakat Harus Ditingkatkan

Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Nur Hidayat Sardini
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Nur Hidayat Sardini
JAKARTA_DAKTACOM: Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menegaskan, bahwa kapasitas civil harus lebih ditingkatkan, karena kekuatan civil harus mampu menjadi penyeimbang dari kekuatan negara.  
 
Pemantau Pemilu memiliki peranan urgen dalam meningkatkan kualitas berdemokrasi di Indonesia. Namun sayangnya, pemantau Pemilu yang juga sebagai representasi dari kalangan civil kian hari peranan mereka semakin menurun, maka dari itu harus ditingkatkan.   
 
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Nur Hidayat Sardini menjelaskan, Thomas Mayer dalam buku Social Democracy mengatakan bahwa untuk menjadikan demokrasi yang berkembang sehat di sebuah negara harus memperhatikan tiga sektor kehidupan secara seimbang. Pertama, negara (state). Kedua, civil society. Terakhir, sektor usaha (private sector).
 
“Ketiga sektor itu harus berperan sesuai dengan tugasnya masing-masing,” kata pengajar Fisip Undip itu di ruang kerjanya, Jumat (22/05/15).
 
Dia menjelaskan, dalam kaitannya dengan Pemilu, KPU dan Bawaslu sebagai wakil negara sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Makin kuat. Tentunya dengan segala catatan yang ada. Tapi tidak menggambarkan kelemahan mereka.
 
Ada pun mengenai dunia usaha, tentunya memiliki logika usaha sendiri. Dalam kaitannya dengan Pemilu, yang penting bagi mereka Pemilu itu tidak mengganggu usaha.
 
Nah, bagi kekuatan civil, Pemilu harus menjamin bahwa mereka mampu mengimbangi kekuatan negara. Pemilu tahun 2014 mencerminkan bahwa kekuatan negara yang terwujud dalam peran KPU dan Bawaslu memiliki posisi kuat. Sementara kekuatan civil masih sangat terbatas.
 
“Sepanjang pemilu-pemilu di era pascareformasi, kekuatan civil makin terbatas. Saya menyaksikan empat pemilu di era pasca-Orde Baru pada jarak yang dekat. Saya aktif di kampus, membantu Forum Rektor. Tahun 2004, saya ketua Panwaslu Jawa Tengah. Tahun 2009 saya ketua Bawaslu. Dan tahun 2014 anggota DKPP. Kalau saya cermati, Pemilu Tahun 1999 kekuatan civil dalam pemantauan pemilu memiliki peran yang sangat signifikan. Bahkan mampu mengimbangi kekuatan negara,” jelasnya.
 
Dia menggambarkan, pada  Pemilu tahun 2004 kekuatan pemantau Pemilu dari masyarakat civil masih sangat terasa. Meskipun tidak gemebyar seperti Pemilu sebelumnya. Tahun 2009, keadaannya sudah terbatas. Pasalnya, para pemantau Pemilu yang dulu berkiprah satu demi satu sudah tidak tampak. Pemilu tahun 2014, lebih terbatas dan sedikit dapat dirasakan.
 
“Saya kira, kita harus memikirkan soal ini. Kenapa jumlah para pemantau Pemilu makin terbatas dalam Pemilu kita dari waktu ke waktu? Padahal, sesuai pemikiran Thomas Mayer itu, kekuatan civil harus mampu menjadi penyeimbang dari kekuatan negara,” paparnya.
 
Kekuatan civil ini penting, agar KPU, Bawaslu dan DKPP juga harus diawasi. Salah satunya dari peran-peran yang dilakukan oleh para pemantau Pemilu sebagai bagian dari kekuatan civil.
 
“Misalnya JPPR. JPPR ini adalah pemantau Pemilu yang masih eksis. Satu di antara jari yang ada di sebelah tangan kita. Dan saya menyaksikan kiprah JPPR dari Pemilu ke Pemilu selama Pemilu pasca-Orde Baru. Saya mengapresiasi terhadap konsistensi JPPR dalam kiprah penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sepanjang era reformasi ini. Bukan apa-apa karena ini menyangkut kapasitas pemilih. Pemilih kita saat ini, masih sekadar sebagai supporter, tidak sebagai voters,” kata ketua Bawaslu RI periode 2008-2011 itu.
 
Dia melihat, para pemilih datang ke TPS sekedar sebagai ritual demokrasi tetapi aspek kontrol masyarakat kepada kekuatan negara yang karena terbatas tadi pada akhirnya pincang.
 
“Saya mengajak bahwa persoalan peningkatan kapasitas civil ini khususnya kapasitas pemilih ini adalah sebagai critical mass. Murni sebagai voters bukan sekadar supporters,” ungkap bapak tiga anak itu.
 
Pemilu ini bukan untuk siapa-siapa. Pada hakikatnya, Pemilu ini untuk pemilih. Sama seperti membangun universitas, bukan untuk birokrasi melainkan untuk mahasiswa. Membikin negara ini bukan untuk para birokratnya, bukan untuk para pejabat-pejabatnya, tetapi untuk rakyat.
 
“Sebanding untuk itu, kita menggelar pemilu hakikatnya bukan untuk KPU, bukan untuk Bawaslu bukan untuk DKPP tetapi untuk melayani pemilih agar menggunakan hak pilihnya. Dan dalam arti luas untuk kita abdikan untuk rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, kapasitas pemilih harus kita pikirkan,” ungkapnya.
 
Dia berpendapat sudah saatnya KPU dan Bawaslu dan DKPP membantu dalam persoalan ini. Selalin itu, program-program asistensi dari donor asing, bukan lagi untuk peningkatan kapasitas KPU dan Bawaslu tapi justru untuk kekuatan masyarakat civil ini. Pasalnya, KPU, Bawaslu sudah cukup dari APBN. “Jadi mengarahkannya bukan KPU dan Bawaslu, tapi justru kekuatan civil. Karena memang sudah cukup bahkan serapan anggarannya tersisa, dikembalikan ke negara,” pungkasnya.
Editor :
Sumber : Teten Jamaludin
- Dilihat 2292 Kali
Berita Terkait

0 Comments