Setelah 40 Tahun, Soal Adab Diingatkan Lagi
Empat puluh tahun lalu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyampaikan satu gagasan penting bagi dunia Islam. Bahwa, problem utama umat Islam saat ini adalah ‘hilang adab’ (loss of adab). Gagasan itu disampaikan al-Attas di hadapan tiga ratus tiga puluh (330) ilmuwan Muslim yang hadir pada Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama tahun 1977 di Mekkah, Saudi Arabia.
Kini, pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Disertasi yang berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi” ini mendapat pujian dari Prof. Ahmad Tafsir, penguji, dan memberikan predikat cum laude kepada penulisnya.
Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern, khususnya di Perguruan Tinggi.
Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun), hlm. 54).
Ulama besar, Ibn al-Mubarak menyatakan, “Kami lebih membutuhkan sedikit adab daripada ilmu yang banyak. (Lihat, Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma’ fî Târikh al-Tashawwuf al-Islâmi, hlm 137. Lihat juga al-Imam Abi al-Qasim al-Qusyairi, al-Risâlat al-Qusyairiyyah, hlm. 317). Ia juga menyatakan “Jika aku diceritakan tentang seorang yang memiliki ilmu generasi terdahulu dan yang akan datang, aku tidak menyesal jika tidak sempat berjumpa dengannya. Namun jika aku mendengar ada seorang yang memiliki adab kepribadian yang baik, aku sangat berharap bisa berjumpa dengannya dan sangat menyesal jika tidak sempat berjumpa dengannya.” ( Al-Jilani, al-Ghunyah..).
Salah satu murid Imam Malik, Abdurrahman ibn al-Qasim, menyatakan, “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama dua puluh tahun, delapan belas tahun dihabiskan untuk mempelajari adab, dan hanya dua tahun mempelajari ilmu. Alangkah sayangnya, seandainya semua waktu itu dihabiskan untuk mempelajari adab. Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarrîn fî al-Qarn al- ‘Asyir ‘alâ mâ Khâlafû fîhî salafahum al-Thâhir, (Jakarta:Dar al-Kutub al-Islamiyyah,2012).
Sedangkan Imam Syafi’i pernah ditanya “Bagaimana keinginanmu terhadap adab?” ia menjawab, “Ketika aku mendengar satu hal tentang adab maka seluruh anggota tubuhku merasakan nikmat karenanya.” Ia ditanya lagi “Bagaimana engkau mencari adab?.” Ia menjawab “Seperti seorang wanita yang kehilangan anaknya dan ia tidak memiliki apapun selain anak itu.” (Badr al-Din Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim).
Perhatian para ulama tentang adab juga bisa dilihat dari banyaknya karya yang membahas masalah adab, seperti Al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari, Adab al-Dunya wa al-Din karya Imam al-Mawardi, Al-Adab fi al-Din karya Imam al-Ghazali, Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an karya Imam al-Nawawi, Adab al-Insan karya Sayyid Utsman ibn Yahya, dan Adab al-’Alim wa al-Muta’allim karya K.H Hasyim Asy’ari.
Konsep adab ini sebenarnya bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim al-Qusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya.
Hujjatul Islâm al-Imam al-Ghazâli (450-505 H) juga memberikan makna adab. Menurutnya, adab adalah pendidikan diri lahir dan batin (wa al-adab ta’dîb al-zâhir wa al-bâthin) yang mengandung empat perkara: perkataan, perbuatan, keyakinan dan niat seseorang. Hujjat al-Islâm Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, Raudhat al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Sâlikîn, hlm. 10, dalam Majmû‘ah Rasâ’il al-Imâm al-Ghazâli, (Beirut:Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2011)
Selanjutnya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (691-751) menyatakan bahwa substansi adab adalah aplikasi atau pengamalan akhlak yang baik (isti’mâl al-khuluq al-jamîl). Karena itu, adab merupakan upaya aktualisasi kesempurnaan karakter dari potensi menuju aplikasi (istikhrâju mâ fî al-thabî’ah min al-kamâl min al-quwwah ilâ al-fi‘l). (Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madârij al-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, ed. ’Imâd ’Âmir, (Kairo: Dâr al-Hadîts. 2002) juz. 2).
Berbeda dengan ketiga ulama sebelumnya, al-Syarîf ‘Alî ibn Muhammad al-Jurjânî (740-816 H) memposisikan adab sebagai pengetahuan. Dia mendefinisikan adab dengan pengetahuan yang menjaga pemiliknya dari berbagai kesalahan (ma’rifatu mâ yuhtarazu bihî ‘an jamî‘i anwâ‘ al-khata’). (Al-Syarîf ‘Alî ibn Muhammad al-Jurjâni, al-Ta’rifât, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2012).
Di era modern ini, dalam bukunya, Al-Attas, The Concept of Education in Islam, Prof. Naquib al-Attas memberi makna baru terhadap istilah adab dengan definisi sebagai berikut: “Adab is recognition, and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potential.
Pada kesempatan lain al-Attas mengaitkan adab dengan hikmah. Al-Attas kemudian memaknai adab sebagai tindakan yang benar yang bersemi dari disiplin diri yang dibangun di atas ilmu dan bersumberkan hikmah (right action that springs from self-discipline founded upon knowledge whose source is wisdom).
Rumusan adab al-Attas itu berbeda dengan definisi para ulama sebelumnya, termasuk dengan Imam al-Ghazali yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Namun secara substansi, definisi al-Attas sama dengan penjabaran adab yang tertulis di karya-karya para ulama sebelumnya. Bacaannya yang sangat luas terhadap karya-karya klasik para ulama memungkinkan al-Attas untuk merangkum dan merenungkan secara mendalam terhadap hakikat makna adab.
Selain menggagas dan merumuskan konsep adab dalam konteks keilmuan modern, al-Attas juga mengaplikasikan konsep adab ini dalam institusi pendidikan yang didirikannya, yaitu ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur. Sepanjang keberadaan ISTAC (1987-2002), konsep adab diaplikasikan dalam berbagai aspek pendidikan: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, perekrutan guru, metode pendidikan, evaluasi pendidikan dan sarana pendidikan yang berbasis adab. Institusi ini terbukti melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang unggul dalam pemikiran Islam, yang kini tersebar di berbagai dunia Islam.
Karena itu, menurut Ardiansyah, konsep adab al-Attas ini sangat penting dipahami dengan baik dan diaplikasikan dalam pendidikan, dimulai dari Perguruan Tinggi sampai pendidikan dasar. Secara khusus, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi konsep adab al-Attas di Perguruan Tinggi, sebagai berikut:
Pertama, mensosialisaikan tujuan pendidikan sebagai proses menanamkan adab yang diawali dengan tazkiyatun nafs. Kedua, menyusun kurikulum pendidikan secara hierarki dengan klasifikasi ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Ketiga, menyiapkan program dan metode pendidikan berdasarkan prinsip al-taadub tsumma al-ta’allum melalui kajian adab, penguatan keimanan, pembiasaan, keteladanan dan kedisiplinan. Keempat, mengoptimalkan peran dosen sebagai muaddib yang peduli dan menjadi teladan. Kelima, merumuskan evaluasi pendidikan berdasarkan adab dan ilmu. Dan keenam, menyiapkan sarana pendukung yang berkualitas.
Melalui enam langkah ini, harapan untuk melahirkan manusia yang beradab, yang akan menjadi arsitek peradaban insyaaAllah bisa terwujud. Sebab, menurut al-Attas, tujuan utama pendidikan adalah melahirkan manusia-manusia yang baik (good man), atau manusia beradab (insan adabi). Sedangkan proses pendidikan yang utama adalah proses penanaman adab ke dalam diri manusia, sebagai manusia.
Meskipun sejak tahun 2002, al-Attas telah diberhentikan dari ISTAC, dan institusi pendidikan unggul itu kemudian ditutup, tetapi gagasan al-Attas semakin luas dipahami dan diperjuangkan, baik di Malaysia dan di Indonesia. Adalah Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud yang bisa dikatakan berjasa besar dalam menjelaskan, mengembangkan dan melanjutkan penerapan konsep adab al-Attas itu dalam berbagai institusi dan tingkat pendidikan. Salah satu yang penting adalah pendirian CASIS-UTM (Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation—Universiti Teknologi Malaysia).
Prof. al-Attas dan Prof. Wan Mohd Nor dalam berbagai kesempatan mengingatkan pentingnya pembenahan pendidikan di tingkat Pendidikan Tinggi. Sebab, kekeliruan dan kerancuan ilmu di peringkat tinggi ini akan melahirkan sarjana-sarjana yang akan menerapkan ilmunya pada peringkat pendidikan yang lebih rendah.
Dalam proses pendidikan, guru merupakan kunci perbaikan pendidikan. Guru adalah produk pendidikan tinggi. Jika guru mendapat ilmu yang salah, maka ia akan berpikir dan berperilaku salah pula. Ilmu yang salah itulah yang selanjutnya ia ajarkan kepada para muridnya. Akibatnya, tercipta lingkaran setan kekeliruan ilmu dan pendidikan, yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin yang keliru pula; yang tidak beradab; yang tidak memahami bagaimana seharusnya memahami dan menyikapi segala sesuatu dengan benar dan tepat, sesuai dengan harkat dan mertabat yang ditentukan Allah.
Disinilah tampak urgensi konsep Islamisasi ilmu dan pembenahan pendidikan tinggi, sebagaimana digagas puluhan tahun lalu oleh Prof. Naquib al-Attas, kemudian dikembangkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dan kini digaungkan kembali oleh Dr. Muhammad Ardiansyah melalui disertasi doktornya.
Disertasi Dr. Ardiansyah ini menguatkan kembali teori Prof. Naquib al-Attas, bahwa solusi yang paling mendasar bagi masalah utama umat Islam dewasa ini, adalah penerapan konsep adab dalam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Solusi itu akan mengurai akar krisis umat Islam dewasa ini, yaitu ‘hilang adab’, atau loss of adab. Wallahu A’lam. (Semarang, 18 November 2017).
Editor | : | Dakta Administrator |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Bersikap Adil Terhadap Kartini dan Muslimah Hebat Lainnya
- Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar
- Pertaruhan di Laut Natuna Utara
- Perang Dunia III dan Nasib Indonesia
- Pentingkah 4 Gebrakan Mas Menteri?
- Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme
- Islam Menilai HAM
- Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah
- Bermartabat karena Bekerja
- Mencermati Pergeseran Perilaku Politik Jelang Pilkada Serentak 2020
- "Cashless Society" 2020, Realistis atau Utopis?
- Dilema Perkembangan Skuter Listrik
- Nadiem Makarim dan Ujian Politik Milenial
- Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan
- Wajah Kompromi Kabinet Jokowi
0 Comments