Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 13/05/2015 11:30 WIB

Kebangkitan Islam dan Kegalauan Non Muslim

Fahmi Salim
Fahmi Salim

Pengurus MUI Pusat Fahmi Salim, MA (kiri) menyampaikan pikiran-pikirannya dalam bedah buku karya Pendeta Richard Daulay di Puslitbang Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (05/05).

JAKARTA_DAKTACOM:  Tanggapan kritis terhadap buku “Agama dan Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam,” karya Pendeta Richard Daulay disampaikan oleh anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat H. Fahmi Salim, MA.

Fahmi, menyoroti secara tajam berbagai isu dalam buku tersebut yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam. Alumni Jurusan Tafsir Alquran Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini menangkap inti pesan buku itu adalah untuk meriset respon umat Kristen terhadap realitas kebangkitan Islam dalam arti Islamisasi politik (hukum dan undang-undang) serta adanya diskriminasi agama.    

Selama ini, kata Fahmi, umat Islam mengkhawatirkan terus merosotnya presentase populasi Muslim Indonesia, sementara pada saat yang sama, kalangan Kristen sangat galau dan resah dengan Islamisasi politik di Indonesia.

Pertama yang menjadi sorotan Fahmi adalah mengenai MUI yang disebut Pendeta Richard mengalami puritanisasi. Dalam bukunya, Richard menuduh MUI mengalami proses puritanisasi dari yang sebelumnya merupakan “alat” Orde Baru menjadi “alat” umat Islam untuk berhadapan dengan negara. Menurut Richard, MUI menjadi makin puritan setelah masuknya ormas-ormas yang disebutnya “radikal” menjadi anggota MUI seperti HTI, FPI dan MMI. Apalagi, katanya, pada 2005 MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pandangan-pandangan teologis yang dianggap menyimpang dari Islam seperti Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme, Ahmadiyah, doa bersama, kewarisan beda agama, dan perkawinan beda agama.

Menanggapi tuduhan ini, Fahmi mengatakan, bila ada kelompok di luar Islam yang turut mempersoalkan fatwa-fatwa MUI dalam Munas 2005 adalah bisa diartikan sebagai ikut campur kalangan non-Muslim terhadap urusan internal umat Islam.

Fahmi juga merasa aneh, bila MUI disebut seolah-olah sebagai ‘aktor pengendali’ negara, padahal MUI tidaklah memiliki kewenangan struktural, bukan lembaga negara dan bukan juga mufti bagi negara. “Ini aneh,” ungkapnya.

Sementara itu, menanggapi sejumlah gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, HTI dan Alqaeda yang ditulis Richard sebagai organisasi turunan Wahabi, Fahmi menyebut bila hal itu sebagai paradigma lama yang cocok hanya untuk era 60-70’an. Pasca Arab Spring, kata Fahmi, hal itu sudah tidak relevan lagi.

“Ikhwanul Muslimin dimusuhi rezim Saudi, demikian pula Alqaeda memusuhi rezim Saudi karena dianggap sebagai antek AS, pun HT memusuhi rezim Saudi karena penolakan ide khilafah pada saat upaya merestorasi khilafah pasca runtuh tahun 1924,” jelasnya.

Menyangkut soal Islamisasi, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) DKI Jakarta ini mempertanyakan, apakah ada data fakta Islamisasi para pemeluk Kristen, sehingga menimbulkan ketegangan. Fakta di lapangan, kata Fahmi, yang terjadi adalah Kristenisasi terhadap pemeluk Islam, “Ini faktor utama pemicu ketegangan Islam-Kristen,” ungkapnya.

Terkait tudingan ada beberapa peristiwa masa lalu dan masa kini yang selalu dijadikan kalangan Islam untuk memupuk rasa bermusuhan dengan Barat dan Kristen, Fahmi mengatakan justru hal itu semakin menguatkan asumsi bahwa pihak Baratlah yang telah menciptakan dan mendorong lahir dan berkembangnya radikalisasi dan fundamentalisme Islam dengan konflik berdarah tersebut.

“Tujuannya adalah menjadikan fundamentalisme Islam sebagai dalih untuk menyebarkan paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama agar diterima oleh umat Islam,” jelasnya.

Fahmi, yang juga aktif di organisasi Muhammadiyah dan mengajar di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta ini kemudian pankang lebar menjelaskan soal isu Perdaisasi syariat Islam.

Tudingan perdaisasi syariat Islam adalah tidak benar. Faktanya, tidak ada yang namanya perda syariat. Daerah-daerah yang selama ini mengeluarkan perda yang disebut perda syariat itu sebenarnya hanya mengatur soal larangan minuman keras, anjuran baca tulis Alquran, kewajiban berbusana Muslim/Muslimah dan yang semisal.

Fahmi mengatakan, bila ada kabupaten/kota menerapkan perda yang sesuai Islam, jangan dipahami sebagai Islamisasi. Pancasila tidak melarang kemauan masyarakat banyak di tempat itu untuk membentuk tatanan sosial yang lebih baik bagi mereka.

“Kelompok minoritas tidak perlu risau. Karena Islam mewajibkan umatnya melindungi kelompok minoritas yang terikat dalam kesepakatan,” ungkapnya.

Menurut Fahmi, biarlah nilai yang hidup di masyarakat, termasuk nilai Islam, diserap menjadi bagian sistem legislasi nasional di bawah naungan Pancasila. Agama lain juga silakan berlomba menyumbang nilai terbaiknya bagi kehidupan bersama ini. “Biarkan saling mengisi. Biarkan semua jadi bagian dari Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

Fahmi membantah bila “perdaisasi syariat” dianggap ancaman terhadap kebhinekaan dan bertentangan dengan Pancasila. Dia beralasan Islam adalah agama yang dianut sebagian besar penduduk negara ini. Nilai Islam telah menjadi sistem nilai yang hidup di tengah masyarakat selama ratusan tahun. Pancasila sebagai kesepakatan bersama harus diisi dengan sistem nilai yang hidup di tengah masyarakat agar lebih kokoh dan bisa diterapkan dalam konteks yang tepat.

“Posisi Islam adalah memberi nilai pada Pancasila. Islam memberika tawaran solusi menyikapi kerusakan moral seperti  pornografi, pelacuran, miras, judi, korupsi dan sebagainya,” tandasnya.

Fahmi menekankan, syariat Islam bukanlah ancaman bagi Pancasila, melainkan justru memperkokoh Pancasila. Alasannya, karena Islam telah jadi bagian integral bangsa ini.

“Bila nilai Barat, nilai adat dan lainnya bisa diserap, kenapa nilai Islam tidak boleh?,”tanyanya.

Menurtnya, sepanjang penyerapan nilai Islam membawa kemaslahatan bersama, tidak akan ada masalah. “Ketika nilai lain tidak efektif, lalu ada nilai Islam yang lebih efektif, lebih memberi efek jera, apa yang salah dengan penyerapan nilai Islam?,” tanyanya lagi.  

Lagipula, lanjut Fahmi, dari sekian agama yang diakui di Indonesia hanya Islam yang memiliki nilai dan tata hukum yang lengkap mengatur umatnya secara normatif dan menjadi nilai yang hidup di tengah masyarakat yang bisa diterapkan dalam aspek pendidikan, sosial, ekonomi, pidana, dan perdata yang bersifat lues dan sesuai dengan kondisi umat manusia dimana pun mereka berada.

“Islam bukan ancaman bagi kebhinekaan, melainkan bagian dari kemajemukan itu. Islam telah bersinergi dan menyatu dengan kebhinekaan bangsa ini sudah lebih dari ratusan tahun,” tandasnya.

Fahmi menyarankan kelompok-kelompok di luar Islam untuk tidak panik dan paranoid melihat umat Islam hendak mengisi Pancasila dengan nilai Islam. “Negara ini tidak akan diubah jadi negara Islam. NKRI dan Pancasila tetap. Mayoritas umat Islam tetap berkomitmen pada NKRI dan Pancasila,” ungkapnya.

Editor :
Sumber : Ulil Albab
- Dilihat 9074 Kali
Berita Terkait

0 Comments