Oleh: Usep Mohamad Ishaq, Peneliti PIMPIN
Kita saat ini tengah hidup dalam zaman keajaiban, selama ribuan tahun sejarah perjalanan manusia, mungkin baru pada masa inilah manusia mampu untuk pertama kalinya mengungguli jangkauan makhluk hidup manapun dalam penjelajahannya di ketinggian angkasa, kecepatan perjalanannya di darat, laut dan udara.
Kita adalah satu-satunya makhluk hidup yang dapat melepaskan diri dari permukaan bumi hingga ke luar angkasa dengan kekuatannya; menjejakkan kaki di permukaan bulan yang selama ribuan tahun hanya dalam bentuk dongeng khayali. Kitalah makhluk hidup satu-satunya yang berhasil mengirimkan perangkat elektronik begitu jauhnya untuk menguak rahasia terjauh luar angkasa hingga ke luar tata surya yang barangkali bahkan belum pernah terbersit dalam khayalan manusia selama ini. Kita adalah satu-satunya makhluk hidup yang berhasil menembus bumi hingga kedalaman ribuan meter untuk mengeruk kekayaan barang tambang di dalamya, di mana tak ada satu hewan melata pun yang pernah melakukannya.
Kita adalah makhluk hidup satu-satunya yang berhasil mendirikan bangunan berkilometer tingginya yang hampir-hampir saja mencakar langit menembus awan; dan semua kekuatan itu diraihnya dengan pengetahuan yang ia bangun dengan susah payah selama ribuan tahun lamanya: kekuatan itu adalah sains.
Sainslah yang membuat manusia saat ini berada dalam masa keajaiban tersebut, yang membuat khayalan menjadi nyata, membuat hal-hal yang semula dianggap fiksi menjadi fakta. Dengan sainslah manusia perlahan mulai menemukan bahwa dirinya memiliki potensi yang tak terkira besarnya, ia mampu menjawab berbagai tantangan zaman dan persoalan kemanusiaan yang dihadapinya, berbagai kemudahan yang dahulu hanya sebatas angan-angan saat ini sudah dalam genggamannya, dan akhirnya manusia berada pada tahap di mana ia merasa cukup dengan kemampuannya sendiri, dan dengan sainslah manusia merasa cukup memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa ia saat ini mampu mengarungi kehidupan tanpa uluran “tangan-yang-tak-terlihat“; ia tidak lagi merasa perlu untuk berpegangan pada suatu bentuk keyakinan terhadap hal-hal metafisis sifatnya, yang selama ribuan tahun dipercayai akan menjaganya dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup, meredakan kekhawatirannya dan melipur ketakutannya. Sains telah membawa umat manusia begitu jauhnya hingga batas-batas yang tak terbayangkan sebelumnya sekaligus menggantikan hal-hal yang selama ini dipercayainya sebagai dogma. Tentu sains pula yang membawa sisi gelap manusia pada tahapan yang sama tingginya dan skala yang juga tak terkira sebelumnya.
Namun kemajuan pesat sains yang seperti lihat saat ini, tidaklah lahir dengan mudah, ia lahir melalui ujian berat dan perjalanan yang berliku, meniti tepian jurang sejarah manusia yang hampir memperosokkanya, menenggelamkannya, dan menguburnya dalam-dalam sebelum ia bangkit penuh keteguhan dan bahkan membungkam keraguan dan tuduhan. Sains modern yang dipegang teguh masyarakat dunia saat ini lahir dari pergumulan sengit akal manusia dengan kepercayaan pada hal yang ghaib selama ribuan tahun lamanya.
Manusia pada awalnya mengira bahwa kedahsyatan alam yang ia saksikan adalah kegiatan dewa-dewi ghaib, perlahan sains mampu menjelaskan fenomena tersebut secara rasional dan logis: pendar cahaya aurora di langit kutub utara bukanlah roh-roh leluhur atau dewi-dewi fajar sebagaimana dipercaya manusia di masa lalu, ternyata ia hanyalah efek benturan muatan listrik dengan gas di atmosfer, tidak ada dewa-dewi dan roh di situ. Gerhana bukanlah tanda sosok makhluk jahat menutupi cahaya bulan, ia hanyalah gejala alam biasa akibat pergerakan benda-benda langit.
Ketika badai bergemuruh dan ombak mengamuk tinggi di lautan, ternyata ia cukup dijelaskan melalui ilmu termodinamika dan hidrodinamika, tak lagi memerlukan penjelasan sosok dewa laut Poseidon yang sedang mengaduk-aduk samudera, ia dapat dijelaskan secara ilmiah. Perlahan hal-hal yang dianggap ghaib menjadi tersingkap, dan pada akhirnya manusia mulai tak mempercayai hal-hal yang bersifat metafisika atau bahkan sosok tuhan apalagi semacam agama. Mereka yang memiliki keberanian, sudah tegas dan lantang membuang tuhan-tuhan, dewa-dewi dan agama-agama jauh-jauh, tetapi mereka yang gamang dan malu-malu menepikannya ke sudut-sudut kehidupan dan bingung dan tak tentu arah terpaksa berkepribadian ganda: beragama di satu sisi dan bersikap “ilmiah“ dengan meyakini sains yang anti metafisika di sisi lain.
Bagi mereka, seseorang yang berpikir ilmiah mestilah tak percaya metafisika, dan yang percaya metafisika pastilah tidak ilmiah. Keyakinan terhadap hal-hal metafisika dan fisika adalah hubungan kontradiksi, tak mungkin berada dalam satu manusia yang sama. Karena itu untuk mencapai kemajuan sains, kita mesti meninggalkan agama, dan mereka yang terlalu beragama adalah penghambat kemajuan sains, mungkin demikianlah yang ada dalam pikiran mereka, dan demikianlah pengalaman yang telah dilalui masyarakat Barat dalam sejarah.
Boleh jadi ini pula yang mendorong August Comte (1798-1857) untuk membuat kesimpulan bahwa manusia mengalami perubahan fase dalam perjalanannya dalam sejarah. Comte meyakini bahwa masyarakat manusia berkembang dari tahap teologis menjadi tahap metafisis akhirnya tahap positivistik atau saintifik. Dalam tahap teologis manusia harus berpegang pada agama atau keyakinan pada hal-hal ghaib tertentu karena mereka belum mampu menjawab berbagai pertanyaan yang tidak dapat dijawab menyangkut alam dan realitas serta kehidupannya, manusia masih terpesona dengan fenomena kedahsyatan alam, gemuruh halilintar, angin kencang, amuk ombak di lautan, gerhana, bintang berekor, pendar cahaya aurora, dan lain sebagainya.
Mereka takjub dengan apa yang mereka saksikan dan tak memiliki jawaban lain selain harus mempercayai pada suatu kekuatan supranatural. Kejadian tidak difahami sebagai hukum sebab akibat atau karena hukum sekuensial tertentu namun semata karena kemauan dari suatu kekuatan “di luar sana”.[2]
Pada tahap teologis ini pun, menurut Comte, manusia masih harus mengalami perkembangan dari kepercayaan bahwa benda-benda di alam memiliki jiwa (animisme) kepada keyakinan bahwa ada dewa-dewa yang mengatur kekuatan alam (politeisme) menjadi keyakinan pada adanya satu tuhan (monoteisme). Kemudian setelah manusia semakin menggunakan nalarnya, ia mulai mencari jawaban atas berbagai pertanyaan dengan berspekulasi mencari hal-hal metafisik tanpa merujuk pada kepercayaan tertentu untuk menjelaskan realitas; Ini adalah tahap metafisis suatu transisi dari tahap teologis.
Tuhan masih diyakini namun tuhan yang abstrak hasil pikiran manusia, tuhan yang masuk akal. Pada akhirnya setelah sains berkembang dan mampu menjawab banyak pertanyaan manusia melalui metoda saintifik yang empirik (positivistik), manusia memasuki tahapan yang paling maju yaitu tahap positivistik atau tahap saintifik. Syed Muhammad Naquib al-Attas menggambarkan bagaimana krisis agama ini berlangsung karena arus sekularisasi yang berkembang pada masa itu:
[terj.]:“Di pertengahan awal abad ke-19, filsuf-sosiolog Perancis, Auguste Comte, telah membayangkan kebangkitan sains dan kejatuhan agama. Ia meyakini, bersesuaian dengan logika sekular perkembangan filsafat dan sains Barat, bahwa masyarakat ‘berevolusi’ dan ‘berkembang’ dari tahap primitif ke modern. Dia juga mengamati bahwa dilihat dari aspek perkembangan metafisika terjadi pergeseran dari teologi kepada sains. Kemudian pada abad yang sama, filsuf-penyair dan peramal asal Jerman, Friedrich Nietzsche, meramalkan melalui lisan Zarathustra – paling tidak bagi dunia Barat – bahwa Tuhan telah mati. Filsuf, penyair, dan novelis Barat telah menyangka kehadiran kenyataan ini dan menyambutnya sebagai persiapan menyongsong hadirnya dunia yang bebas tanpa Tuhan dan agama sama sekali. Seorang penganut Jesuit Perancis, paleontologis Pierre Tielhard de Chardin, yang diikuti oleh ahli teologi lain seperti Dietrich Bonhoeffer dari Jerman dan Paul Tillich dari Amerika, merasakan arus berbagai peristiwa dan pemikiran masa kini yang berpengaruh besar terhadap agama Kristen dan dunia Barat, mulai mengakui ketidakmampuan untuk menolak krisis keyakinan dan keagamaan yang timbul akibat sekularisasi. Akibat pengaruh sekularisasi ini mereka kemudian menyarankan agar penganut Kristen bergabung dan berpartisipasi dalam proses sekularisasi yang oleh banyak orang dipandang sebagai wabah yang mengganas”[3]
Singkat kata, mereka yang percaya hal-hal yang metafisis maka ia dianggap tidak berpikir saintifik. Saintifik adalah semacam kriteria kebenaran dan ilmu, jika sesuatu tidak memenuhi kriteria saintifik, yakni tidak dapat memberikan bukti empiris dan tidak ada penjelasan rasional, maka ia tidak saintifik, tidak ilmiah, dan tak layak masuk dalam perbincangan keilmuan. Karena itu metafisika sudah lama diminta keluar dari wacana keilmuan dan kebenaran sejak positivisme yang menjadi ruh sains dicetuskan dalam “Lingkaran Wina” lebih seabad lalu.
Sejak itu pergumulan sains dengan agama telah dianggap selesai, agama diberi tempat dalam domain keyakinan, ia bukan ilmu atau sejenis ilmu, sedangkan sains disahkan sebagai ilmu. Agama dilucuti dari perbincangan ilmiah; dari ruang-ruang kelas pengajaran sains. Barangkali menjadi sebuah aib jika perbincangan tentang Tuhan masuk dalam buku-buku sains atau namanya disinggung oleh para saintis dalam sudut-sudut diskusi ilmiah.
Sains bukan lagi pelayan bagi agama scientia ancilla theologiae sebagaimana dahulu dalam sejarah Barat dikenal, tetapi pengetahuan hanya demi pengetahuan itu sendiri scientia gratia scientiae. Sains yang penuh dendam kepada teologi memang dapat dimaklumi, sejarah dalam peradaban Barat menunjukkan bahwa teologi telah begitu berlaku tidak adil terhadap sains. Sains pernah diseret, dipenjarakan, dibakar, dan dinistakan, dan agamalah yang patut dipersalahkan.
Untuk sekadar menyebutkan nama, Francesco Patrizi (1529-1597) harus mendekam di penjara selama 27 tahun karena melawan doktrin agama, Francesco Pucci (1543-1597) dieksekusi karena menetang dosa asal, pada tahun 1600 Giordano Bruno dibakar hidup-hidup karena pendapatnya bahwa bintang-bintang tidak terbatas jumlahnya dan memiliki jiwa, Lucilio Vanini (1585-1619) seorang filsuf Italia juga mengalami hal yang sama karena dituduh anti Tuhan, Galileo Galilei (1564-1642) mati dipenjara karena mengamini bahkan menguatkan temuan Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bahwa Bumi tidak statis dan teori heliosentrisnya (matahari sebagai pusat tata surya) yang terkenal bertentangan dengan doktrin Gereja yang menganut geosentrisme- Aristotelianisme di mana bumi menempati kedudukan istimewa sebagai pusat tata surya.[4]
Karya Galileo dikutuk pada tahun 1633, namun pada akhirnya Gereja secara resmi meminta maaf pada tahun 1992 tiga setengah abad kemudian! Isaac Newton (1643-1727) tokoh besar ilmu fisika dianggap sebagaian kalangan sebagai heretik karena karya Principia-nya dianggap menganjurkan materialisme laten, sebagian lagi menuduh karya Optick-nya.[5] Newton dituduh demikian karena gambaran mekanikanya dianggap telah menyingkirkan peran Tuhan dalam mengatur dunia. Penjelasan-penjelasan fisika dan matematikanya dianggap telah mampu menjelaskan seluruh gerak di alam semesta. Tetapi Newton bukanlah seorang ateis, ia meyakini Tuhan sepenuh hati dan berusaha memasukkan peran Tuhan dalam karya-karyanya yang ia sebut sebagai Creator, intelligent Agent atau powerful Being. Ia misalnya menuliskan:
“All these things being consider’d, it seems probable to me, that God in the Beginning form’d Matter in solid, massy, hard, impenetrable, movable particles, of such Sizes and Figures, and with such other Properties, and in such Proportion to Space...no ordinary Power being able to divide what God himself made one in the first Creation.”[6]
(“Semua hal ini jika direnungkan, kelihatnya mungkin bagiku, bahwa Tuhan sejak semula membentuk materi dalam partikel-partikel yang padat, berbobot, keras, tak-tembus dan dapat bergerak, dengan ukuran dan gambaran sedemikian, dan dengan sifat-sifat lainnya, dan dalam proporsi tertentu terhadap ruang...tidak ada Kekuatan manusia biasa yang dapat membagi apa yang Tuhan sendiri buat pada ciptaan pertamanya.”)
“Now by the help of these Principles, all material Things seem to have been composed of the hard and solid Particles above-mention’d, variously associated in the first Creation by the Counsel of an intelligent Agent”[7]
(Sekarang melalui bantuan Prinsip-Prinsip ini, seluruh hal-hal bendawi nampaknya terdiri dari Partikel-Partikel yang keras dan padat yang disebutkan di atas, berhubungan dengan Ciptaan pertama oleh perencanaan dari Pencipta (maha) Cerdas)
Newton juga menuliskan dalam Principia:
“This most beautiful system of the sun, planets, and comets could only proceed from the counsel and dominion of an intelligent and powerful Being.”[8]
(Sistem matahari, planet, dan komet yang sangat indah ini hanya dapat berlangsung melalui perencanaan dan kekuasaan dari Sesuatu yang Maha Cerdas dan Maha Kuat)
Meski telah berusaha memasukkan peran Tuhan dalam karya-karyanya, Newton tetap tidak luput dari tuduhan miring, ia tetap dianggap sebagai anti-Trinitas. Pada sekitar tahun 1670an Newton semakin yakin bahwa prinsip besar yang diyakini oleh Gereja adalah keliru, yaitu terutama doktrin Trinitasnya. Newton meyakini bahwa Trinitas adalah bentuk penyimpangan dari Perintah Pertama dari Sepuluh Perintah Tuhan.[9]
Meski beberapa karyanya kemudian diedit untuk menghapus jejak anti-trinitasnya sehingga sulit membuktikan tuduhan tersebut, tetapi kalangan ortodoks Anglikan tetap menuduhnya memiliki anggapan miring tentang kitab suci.[10] Karena itu, bukanlah mengejutkan apabila sains kini menuntut balas, ia tak lagi memberi peluang agar hal traumatis terjadi lagi dikemudian hari, lebih-lebih sains telah memberi kenyamanan hidup yang lebih dari cukup daripada yang telah diberikan agama.
Johannes Kepler (1571-1630) ketika akan menerbitkan karyanya kepada penerbit Gruppenbach yang merupakan penerbit satu-satunya yang layak di kota Tübingen mengalami masalah dengan doktrin teologi. Teori sainsnya tentang heliosentris rupanya masih menyisakan kebingungan epistemologis bagi gereja. Gruppenbach setuju menerbitkan dengan syarat harus diloloskan senat universitas.
Senat universitas kemudian meminta pendapat Michael Maestlin (1530-1631) yang merupakan teolog, ahli astronomi dan matematika sekaligus merupakan mentor bagi Kepler. Maestlin menyetujuinya dengan syarat ia harus menghapus teori heliosentrismenya karena bertentangan dengan “Psalm 104:5“ yang ditafsirkan mendukung faham geosentrisme.[11]
Tidak dipungkiri bahwa dalam masa yang disebut oleh para sarjana Eropa sebagai Masa Kegelapan, terdapat kasus-kasus tertentu di mana pemuka agama yang juga merupakan sosok saintis dan pemikir, namun semangat yang dominan pada masa itu adalah bahwa sains seringkali merupakan ancaman kepada Gereja. Bahkan di Universitas Paris di mana pengajaran sains dan agama mengalami suasana yang lebih baik untuk berjalan beriringan, teologi dan filsafat alam diajarkan dalam dua fakultas terpisah, teologi di fakultas teologi dan filsafat alam di faculty of arts.
Pada 1272 di Universitas Paris para guru di faculty of arts disumpah untuk tidak membahas hal yg berkaitan dengan teologi seperti trinitas, inkarnasi, dll, karena hal ini melanggar batas-batas.[12] Keduanya secara epistemologis sulit menyatu dalam suatu bangunan keilmuan sebab para teolog mendasarkan pemikiran pada otoritas secara mutlak, di sisi lain para pemikir dan saintis menggunakan argumentasi logika yang sering kali bertentangan dengan ajaran para teolog yang dogmatis sifatnya.
Akibatnya agama sering menjadi bahan olok-olok di dalam kelas-kelas filsafat, dan para filsuf dicurigai oleh para teolog. Dengan kondisi seperti ini sulit memasukkan teologi dan masalah keyakinan ke dalam filsafat alam, maka peran Tuhan sudah ditinggalkan di akhir zaman Pertengahan. Satu-satunya jalan paling aman adalah memisahkan keduanya atau mengeluarkan agama dari wacana sains sama sekali. Alangkah tepat jika Syed Muhammad Naquib al-Attas menggambarkan jiwa yang berkembang pada masa Pencerahan Eropa:
"The Cartesian revolution in the 17th century effected a final dualism between matter and spirit in a way which left nature open to the scrutiny and service of secular science, and which set the stage for man being left only the world on his hands..."[13]
(Barangkali kesan sekularisasi yang lebih penting terhadap ilmu pengetahuan di Barat adalah revolusi Cartesian dalam abad ke-17 yang memberi kesan wujudnya dualisme mutlak antara materi (benda) dengan roh sehingga alam tabii menjadi terbuka bagi pengamatan dan khidmat ilmu sains sekular, dan menyediakan gelanggang bagi manusia dan menjadikan nasib dunia bergantung padanya. Filsafat Barat berkembang dengan pasti dan logis bergandengan dengan ilmu sains yang semakin sekular. Manusia mula difahami dengan menekankan sisi humanitas, individualitas dan kebebasannya. Manusia telah tercabut dari dewa-dewa alam yang telah hilang karena serangan gencar akal rasional yang menjadikan alam tabii lebih alamiah untuk manusia bertindak ke atasnya. Kemudian, melalui filsafat dan ilmu sains yang sekular manusia menegaskan pengakuan dirinya dan coba merebut kebebasannya dari Tuhan Semesta Alam, sehingga ia bebas untuk berbuat terhadap alam yang ada di hadapannya.)
Sisa serpihan benturan dari keduanya masih sangat terasa hingga saat ini, teori penciptaan makhuk (creationism) ataupun teori bahwa alam semesta dirancang oleh sesuatu yang Maha Cerdas (intelligent design) sebagai tandingan dari teori evolusi masih tidak diizinkan untuk diajarkan di banyak sekolah di Barat. Misalnya kasus pengajaran teori penciptaan di Sekolah Menegah Distrik Dover Amerika menuai polemik hingga berujung ke pengadilan, tuntutannya bahwa pengajaran teori penciptaan (intelligent design) di sekolah umum dalam mata pelajaran biologi melanggar amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat dan Artikel I Bagian 3 Konstitusi Negara Bagian Pennsylvania, karena intelligent design tidak dapat dipisahkan dari penganut teori penciptaan, agama dan turunannya.
Demikian fenomena yang sama terjadi di lembaga pendidikan di Inggris yang melarang pengajaran teori penciptaan (creationism) sebagai alternatif bagi teori evolusi. Tidaklah heran jika ada suara-suara sarjana di dalam negeri yang nota bene hidup dan didik dalam atmosfer keilmuan Barat memiliki kerangka-kerja (framework) yang sama, yakni bahwa agama harus dilepaskan dari pengajaran sains sama sekali, dengan alasan bahwa keduanya tidak memiliki kaitan atau bahkan dianggap berlawanan.
Namun, apakah sedemikian merata perkembangan sains dalam sejarah peradaban manusia? Tidak adakah suatu episode dalam sejarah perjalanan manusia di mana sains dan agama dapat hidup selaras? Ternyata misalnya dalam agama-agama India seperti Hindu, pengamatan dan renungan terhadap benda-benda langit dan perhitungan astronomis mendapatkan tempat yang penting dalam keagamaan.
Orang-orang bijaksana Weda secara intuitif memahami bahwa alam semesta adalah teratur. Studi terhadap astronomi merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan waktu-waktu ritual keagamaan dan pengorbanan.[14] Terlepas bagaimana hubungan sains dengan ajaran-ajaran agama tersebut dapat terjadi, sekurangnya ini menunjukkan bahwa sains dan agama tidak selamanya merupakan dua entitas yang saling berseteru.
Di dalam sejarah peradaban Islām, sains -dalam pengertian ilmu pengetahuan alam- dengan agama memiliki hubungan yang unik. Penggunaan indera sebagai alat penting untuk melakukan pengamatan (observasi) dalam studi sains dan akal sebagai alat untuk melakukan pemikiran rasional bukan saja mendapatkan tempat, namun diakui sebagai dua alat untuk mencapai kebenaran, bahkan ia disebutkan dalam salah satu teks aqidah yang merupakan keyakinan pokok bagi seorang muslim. Dalam teks akidah Aqā’id al-Nasafiyyah disebutkan bahwa:
وأس"بَابُ العِل"مِ للخَل"قِ ثَلاثَةٌ: الحَوَاس"ُ الس"َلِيمَةُ، وَالخَبرُ الص"َادِقُ، وَالعَق"لُ
“Sebab ilmu kepada manusia ada tiga: indera yang sehat, berita yang benar dan akal”
Imām al-Ghazālī menambahkan intuisi sebagai sarana mencapai ilmu (dhawq). Dengan demikian Islām mengakui sumber-sumber ilmu yang terdiri dari: [15]
1. Berita yang benar dan bersumber dari otoritas (al-Khabar al-Ṣādiq)
2. Panca Indera yang sehat
3. Akal yang sehat (metoda rasional-intelektual) yaitu intelek dan rasio.
4. “Intuisi” (wijdān).
Keempat sumber dan saluran ilmu ini absah dan ilmiah dalam pandangan Islām sesuai dengan wilayah penggunaannya. Berita yang benar yakni di antaranya al-Qur’ān dan al-ḥadīth merupakan sumber ilmu yang dipastikan kebenarannya dan merupakan landasan dan rujukan kebenaran bagi sumber-sumber ilmu lainnya. Epistemologi Islām inilah yang memungkinkan sains dapat hidup dan berkembang di dalam peradaban Islām. Bahkan tidak sedikit ayat al-Qur’ān yang secara jelas menganjurkan penggunaan indera, kekuatan indera internal manusia dan nalar untuk mengamati gejala alam agar dapat diambil pelajaran darinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan sendiri memerintahkan manusia untuk menggunakan potensi-potensi tersebut. Ayat-ayat dalam al-Qur’ān yang secara langsung berbicara tentang fenomena alam semesta, dan mengajak kita untuk memperhatikannya, yang tentu saja menggunakan panca indera, merenungkannya dan menelitinya menggunakan akal, dan mengambil pelajaran darinya melalui qalb begitu melimpah jumlahnya, bahkan secara kuantitatif lebih banyak dari ayat-ayat yang berbicara tentang hukum atau fiqh.
Paling kurang terdapat sekitar 1.108 ayat al-Qur’ān yang berkaitan dengan fenomena alam semesta.[16] Karena itu tidaklah mengejutkan apabila saintis muslim di masa lalu telah menggunakan eksperimen sebagai metoda. Ini berbeda dengan misalnya Aristoteles (384-322 SM), meskipun ia menggunakan metoda induksi dan empiris, akan tetapi Aristoteles mengabaikan eksperimen sebagai metoda untuk memperoleh data, menurut Bertrand Russel hal ini mungkin disebabkan oleh aktivitas kerja tangan seperti eksperimen dianggap sebagai kegiatan untuk kalangan pekerja kasar (ungentlemanly dan vulgar) dalam kultur Yunani Kuno. [17]
Dalam kerangka-kerja epistemologis inilah para saintis dan sarjana Islām di masa lalu dapat bekerja dalam kegiatan sains tanpa menegasikan agama. Bahkan sebaliknya, agama merupakan landasan falsafah dan moral bagi penyelidikan sains. Howard Turner yang merupakan sarjana terkemuka dalam sejarah peradaban Islām telah membenarkan motivasi utama para saintis dan filsuf muslim terdahulu dalam membangun tradisi keilmuannya yang luar biasa, yaitu bahwa bahwa doktrin agama merekalah yang menganjurkan suatu konsep bahwa seluruh materi di alam semesta adalah tanda dari perbuatan Tuhan, ciptaan Tuhan.
Oleh karenanya untuk memahami tanda dari Tuhan adalah penting untuk menyelidiki setiap aspek ciptaannya seperti binatang, tumbuhan, mineral dan tentu saja manusia itu sendiri. Selain dorongan untuk mempelajari ciptaan Tuhan, mereka juga didorong untuk mematuhi perintahNya serta menggunakan sains untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat Islām sebagai bentuk tanggung jawabnya yaitu pemikul amanah di muka bumi.[18] Bukti lain yang menunjukkan bahwa faktor agama merupakan salah satu pendorong penting dari aktivitas sains adalah dukungan dana dari lembaga agama seperti wakaf untuk beberapa aktivitas sains. Ini menunjukkan agama dan institusi keagamaan mendorong kemajuan sains selama ia sejalan dengan visi keagamaan.[19]
Rujukan:
[1] Tulisan ini adalah cuplikan dari buku Ibn al-Haytham: Sang Pembawa Cahaya Sains. (http://pimpin.or.id/?p=178)
[2] John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (London: Keegan Paul, Trench Trübner, & co. Ltd., 1891), hlm. 10.
[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islām and Secularism (ISTAC, Kuala Lumpur, 1993), hlm. 2.
[4] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan (Bandung: Penerbit Mizan, 2011), hlm. 300-310.
[5] Stephen D. Snobelen, Isaac Newton, Heretic: The Strategies of Nicodemite (The British Journal for the History of Science, Vol. 32, Issue 04, December 1999), hlm. 381-419.
[6] Isaac Newton, Opticks (New York: Dover Publications, 1952), hlm. 400.
[7] Ibid., hlm. 402.
[8] Isaac Newton, Newton’s Principia terj. Andrew Motte (New York, Daniel Adee, 1846), hlm. 504.
[9] Gale E. Christianson, Isaac Newton and The Scientific Revolution (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 74.
[10] Tessa Morrison, Isaac Newton’s Temple of Solomon and His Reconstruction of Sacred Architecture (Basel: Springel Basel AG, 2011), hlm. 31.
[11] James R. Voelkel, Johannes Kepler and The New Astronomy (Oxford NY: Oxford University Press, 1999), hlm. 35.
[12] Edward Grant, A History of Natural Philosophy (Cambridge UK: Cambridge University Press, 2007), hlm. 249.
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hlm. 36.
[14]B.V. Subbarayappa, Indic Religion dalam Science & Religion Arround the World (Oxford NY: Oxford University Press, Inc., 2011), hlm. 196.
[15] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 150-154.
[16] Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta (Bandung: Penerbit Mizan, 2008), hlm. 29.
[17] Bertrand Russel. The Scientific Outlook (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), hlm. 18.
[18] Howard R. Turner, Science In Medieval Islam an Illustrated Introduction (Austin: University of Texas Press, 1995), hlm, 17-18.
[19] Ehsan Masood, Science & Islam A History (London: Icon Books Ltd, 2009), hlm. 212-213.
Editor | : | |
Sumber | : | pimpin.web.id |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments