Jum'at, 28/07/2017 14:15 WIB
Mengapa Sains Modern Menjadi Sekular?
Oleh: Usep Mohamad Ishaq, Peneliti di Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN)
Kejengahan sains modern terhadap agama dalam masyarakat Barat, dapat difahami jika ditelusuri jejaknya melalui sejarah pemikiran di Barat. Namun ternyata, para saintis yang mengaku muslim tidak sedikit yang mengalami simtom yang sejenis.
Tidaklah heran, sebab hegemoni pemikiran Barat memang mengangkangi hampir setiap aspek kehidupan saat ini. Misalnya adanya reaksi negatif terhadap usaha untuk menjadikan sains sebagai alat dalam menghayati agama secara lebih baik, dan sebagai sarana menambah keimanan dan ketakwaan dalam pendidikan sains, bukan saja muncul dari Barat yang memang sudah tegas menutup pintunya rapat-rapat, namun juga terjadi di kalangan muslim terpelajar sendiri.
Mereka mengimpor sejarah traumatis Barat dalam dunia ilmiah Islām yang semestinya tidak perlu. Khazanah sains dalam peradaban Islām menunjukkan bahwa muslim saintis terdahulu memiliki sejarah yang berbeda, yang tidak traumatis.
Hubungan agama dengan sains di dunia Barat memang mengalami pasang surut. Dalam masa yang disebut “masa kegelapan”, sains berada dalam kendali agama sepenuhnya. Terdapat ungkapan “Scientia Ancilla Theologiae” atau “Philosophia Ancilla Theologiae” bermakna sains dan filsafat adalah pelayan bagi ilmu agama. Namun kendali otoritas agama terhadap pemikiran bebas dari para filsuf dan saintis tak dapat membendung arus baru pada masa Pertengahan, dikarenakan kelemahan dalam konsep epistemologinya.
Zaman Kegelapan perlahan surut dan tergantikan masa baru di mana manusia merasa lahir kembali, mereka menamakannya Renaissance (kelahiran kembali) bermakna bahwa manusia Eropa merasa lahir kembali pada zaman baru tersebut, kesadaran baru setelah terkungkung dalam masa-masa penuh pembatasan, suatu masa di mana fikiran manusia tidak lagi terbelenggu oleh doktrin agama, atau disebut juga masa Enlightenment (Pencerahan) sebuah zaman baru setelah masa Kegelapan karena cahaya kebebasan ditutupi oleh dogma-dogma yang sulit dinalar.
Renaissance membawa cahaya dalam peradaban Barat dan berbagai kemajuan dalam sains dan teknologi baru saja dimulai, fikiran-fikiran yang mencerahkan dicetuskan, sains menyibak banyak rahasia alam yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun resiko besar sedang menunggu di depan mata, yaitu surutnya peran agama dan makna spiritual dari ilmu pengetahuan. Sains tak lama lagi bercerai dengan agama dan Tuhan, bahkan berusaha menepikannya, atau membunuhnya.
Fondasi penting dari sains modern adalah metoda saintifik yang sangat mengandalkan metoda empirik dalam memperoleh pengetahuan dan menentukan kebenaran. Sains modern didasarkan pada observasi, hipotesis, dan verifikasi (pembuktian) empiris atau falsifikasi (pengingkaran) empiris. Namun masalah utamanya bukan di sini.
Masalahnya ketika metoda ini berusaha melampaui wilayahnya dan mencoba mengklaim sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang harus didengar. Ia kemudian berkembang menjadi sebuah faham yang mendewa-dewakan pengalaman dan pengamatan dalam penentu kebenaran yang dikenal dengan empirisisme sebagai lawan dari rasionalisme, yang jika dilacak kembali sejarahnya mendapatkan akarnya dalam filsafat Yunani.
Empirisisme mendapatkan akarnya pada filsafat Aristoteles, sedangkan rasionalisme pada Plato. Meskipun metoda empirik dianggap sebagai metoda yang kokoh, hal ini tidak berarti bahwa hasilnya tidak dapat diganggu-gugat. Hasilnya tidak bermakna berlaku dalam sekali dan selamanya atau final. Ia dapat diperbaiki, ditinjau ulang dan dapat dibantah karena sebuah observasi memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Fakta-fakta hasil observasi dalam metoda empirik tidak serta merta diambil begitu saja dan menjadi sebuah teori yang dianggap benar. Penafsiran pengamat pada fakta-fakta yang ada dihadapannya sangat menentukan teori seperti apa yang akan dihasilkan.
Jadi pada akhirnya akal terlibat untuk memutuskan sebuah teori meskipun dalam metoda empirik. Dengan demikian, ada suatu pendapat umum (communis opinio) bahwa sangat boleh jadi metoda empirik dapat dipertanyakan apakah ia memang benar-benar memberikan hasil yang sebenarnya atau tidak.
Dalam eksperimen selalu disadari bahwa selalu adanya idealisasi dan penyederhanaan, ada asumsi-asumsi yang harus diberikan agar metoda empirik bisa dilakukan sehingga suatu teori dapat dibangun. Max Planck mencontohkan sebuah eksperimen pada bandul, dalam kasus bandul ada hal-hal yang dapat diindera seperti massa bandul, perioda, dan lain-lain, itu adalah lingkungan realitas pertama.
Bandul yang bergerak diasumsikan bebas dari gesekan dengan udara, tali dianggap tegar sehingga bebas dari redaman, massa tali diabaikan, dan lain-lain yang sulit diindera, ini adalah realitas kedua. Dan ketiga, ada konsep mengenai bandul dalam fikiran kita, yaitu “bandul sebagai bandul”, dan hasil eksperimen kita sangat tergantung dari “bandul sebagai bandul” yang ada di dalam fikiran kita. Jika tidak maka kita tidak bisa melakukan apa-apa karena adanya kompleksitas alam yang belum bisa diindera.
Jadi fakta-fakta yang dihasilkan dari observasi dan eksperimen tidak berbicara apapun sebelum dipilih dan ditentukan dari seorang saintis, ia juga yang menafsirkan arti dan hubungan dari fakta-fakta berdasarkan asumsi, pertimbangan dan aksioma yang dipilihnya.
Pada awal masa Pencerahan, para saintis dan ilmuan Barat menjadikan spirit agama mereka sebagai dorongan untuk pencarian kebenaran melalui sains alam. Mereka pada umumnya masih mengakui Tuhan dan menganut agama, meskipun benih-benih kekritisan yang sangat tajam terhadap dogma-dogma agama Kristen yang dianggapnya tidak masuk akal mulai tumbuh. Jean Louis Agasizz (1807-1873) seorang Palaentologis dan ahli Biologi mengatakan bahwa Tuhan adalah omong-kosong positif. John Tyndall (1820-1893) seorang fisikawan yang dikenal teorinya dengan “efek Tyndall”, ia melarang Tuhan masuk dalam memasuki ilmu alam dan mengizinkannya masuk dalam proses-proses emosional.
Tidaklah berlebihan jika Engels menuliskan dalam Dialectics of Nature nya, bahwa Tuhan tidak pernah diperlakukan lebih buruk oleh para ilmuwan yang percaya padaNya. Laplace (1749-1827) misalnya, seorang matematikawan dan fisikawan terkemuka yang terkenal dengan transformasi Laplacenya, ketika ditanyakan oleh Napoleon Bonaparte, mengapa ia tidak menyebut nama Tuhan ketika membahasa mekanika angkasanya?
Ia menjawab: “Hal-hal seperti itu tidak ada gunanya bagiku”. Charles Darwin (1809-1882) secara lebih halus menyatakan bahwa ia tidak menentang eksistensi Tuhan, namun ia menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan semua spesies yang ada. Tuhan hanya menciptakan spesies-spesies awal dan hukum seleksi alamlah yang membentuk keragaman spesies. Ia membantah Teori Penciptaan dengan menuliskan:
“This grand fact of the grouping of all organic beings under what is called the Natural System, is utterly inexplicable on the theory of creation”
(Fakta besar tentang pengelompokan semua makhluk hidup melalui apa yang disebut dengan Sistem Alami, sama sekali tidak dapat dijelaskan pada teori penciptaan)
Darwin memposisikan Tuhan sebagai Pencipta makhluk hidup dalam tahap permulaan namun makhluk hidup itu sendiri yang beradaptasi dengan lingkungan sehingga membentuk keragaman. Sikap Darwin terhadap posisi Tuhan ini parallel dengan sikap saintis dan filsuf awal yang menempatkan Tuhan hanya sebagai Prima Causa atau sekadar sebagai Pembuat Jam, sebuah pandangan yang dikenal juga sebagai Deisme. Darwin berusaha meredakan tuduhan bahwa Ia seorang Ateis dengan mengatakan:
“I see no good reason why the views given in this volume should shock the religious feelings of any one…that it is just as noble a conception of Deity to believe that He created a few original forms capable of self-development into other and needful forms”
(Saya tidak melihat alasan yang bagus mengapa pandangan yang diberikan dalam buku ini harus mengguncang rasa-keagamaan seseorang ... yaitu hal tersebut hanyalah konsep yang mulia tentang Ketuhanan yaitu keyakinan bahwa Dia menciptakan bentuk-bentuk awal yang mampu mengembangkan dirinya sendiri menjadi bentuk lain dan yg diperlukan)
Serangan halus terhadap Tuhan dari Darwin dapat dimaklumi karena iklim kegamaan masih cukup kuat di Eropa, sebagai cara untuk menghindarkan dari serangan frontal kaum agamawan.
Pernyataan “perang” dari para ilmuwan dan saintis terhadap agama dan hal-hal metafisikapun semakin terang dan terbuka, misalnya sebagai contoh Bertrand Russel hingga harus menyatakan serangannya pada ketuhanan (khususnya Kristen) dan agama Kristen melalui buku setebal 159 halaman. Ia menuliskan dalam bukunya bahwa sains tidak mendukung adanya Tuhan Kristen dan bahwa statusnya sama denga mitos Tuhan dalam peradaban Yunan, Mesir Kuno, dan Babilonia:
“God and immortality, the central dogma of Christian religion, find no support in science…The Christian God may exist; so may God of Olympus, or of ancient Egypt, or of Babylon”
“Tuhan dan kehidupan abadi, dogma sentral dari agama Kristen, tidak memiliki dukungan sains…Tuhan Kristen boleh jadi ada; demikian juga Tuhan Olimpus, atau (tuhan) Mesir Kuno, atau (tuhan) Babilonia”
Tidak terhitung ilmuwan dan saintis Barat pada akhir masa Pencerahan yang menyerang secara terbuka ketuhanan dan agama, khususnya Kristen dan Yahudi, dan mengungkapkan kemuakannya pada hal-hal metafisika.
Penentangan ilmuan dan saintis terhadap hal-hal metafisika seperti Tuhan dan agama berlanjut hingga masa modern saat ini, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh ahli Fisika terkemuka Stephen Hawking bahwa “Tuhan tidak menciptakan alam semesta-”. Dalam karyanya “The Grand Design”, Hawking menulis:
Spontaneous creation is the reason there is something rather than nothing, why the universe exists, why we exist. It is not necessary to invoke God to light the blue touch paper and set the universe going. (The Grand Design)
Demikian juga saintis ahli Biologi Richard Dawkins seorang penganut ateisme terkemuka. Melalui sederet karya tulis dalam bentuk buku, website, dan videonya ia dengan gigih mempromosikan gagasannya tentang ateisme dan ilusi agama dan ketuhanan, ia menyerang berbagai keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima sains modern.
Sekularisasi perlahan namun pasti tidak hanya merambah pada wilayah filsafat, politik, agama, namun juga wilayah sains alam dan metoda ilmiahnya. Sekularisasi mulai mempertanyakan tentang kebenaran dan pengetahuan yang berasal dari Kitab Suci dan kaum agamawan, dan mereka mulai berfikir tentang pencapaian kebenaran melalui akal manusia dan pengamatan terhadap alam. Pada akhirnya dua aliran pemikiran ini mengkristal menjadi dua pilar dalam pembentukan metoda untuk memperoleh pengetahuan yang disebut dengan metoda saintifik (scientific methods).
Hal inilah yang disebutkan oleh Prof. S.M.N Al-Attas bahwa sekularisme memiliki bagian-bagian utama: ‘penghilangan pesona dari alam tabii’ (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values).
Sekularisasi membawa dampak besar dalam sains. Alam tidak lagi berhubungan dengan Tuhan, ia bukan lagi jejak Tuhan di dunia (vestigia dei), ia lepas dari alam, dan alam menjadi sekadar sesuatu yang diciptakan Tuhan kemudian berjalan sendiri secara mekanis. Tuhan seperti pembuat jam (clock maker), dan alam ini seperti jam yang berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan di dalamnya.
Tuhan adalah tuhan Pencipta alam, prima causa, first creator, namun bukan Tuhan yang senantiasa memelihara alam semesta. Prof. DR. H.M, Rasjidi mencoba meringkaskan keadaan di Inggris dan Perancis pada masa Pencerahan tersebut, bahwa pemikiran berkisar pada tiga unsur:
Kepercayaan penuh kepada metoda ilmu pengetahuan (metoda saintifik –pen.)
Kehilangan kepercayaan kepada dogma agama (yang dimaksud adalah agama yang dikenal di Barat, yakni agama Kristen).
Serta makin meresapnya faham materialisme, yakni pendapat yang mengatakan bahwa yang ada hanyalah benda (materie), karena dapat disadari dengan panca-indera, sedangkan jiwa tidak demikian (tidak merasakan –pen.).
Cara pandang khas Barat seperti di atas merambah pada dunia Muslim. Akibat dari sekularisasi sains, banyak saintis muslim yang tidak lagi tertarik pada “ilmu-ilmu Agama”. Agama kalaupun masih dipraktikkan, ia tidak menjadi suatu pandangan-alam (worldview) atau paradigma berfikir, ia sekadar sebagai ritual yang terpisah dari dunia ilmiah dan sekadar obat penenang dari masalah-masalah hidup. Tidak sedikit lembaga-lembaga “pendidikan” yang memicingkan mata pada perkuliahan agama di perguruan tinggi, kalaupun tak cukup berani menghilangkannya, sekurangnya diarahkan pada sekdar perkuliahan etika profesional.
Sejauh yang kita fahami, tidak ada masalah serius di kalangan muslim saintis di masa lalu. Mereka mampu menjawab masalah-masalah sains dalam hubungannya dengan agama dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kekokohan epistemologis dan memahami dengan baik kedudukan sains dan agama. Masalah muncul di kalangan saintis muslim saat ini disebabkan mereka mengambil framework (kerangka-kerja) Barat sebagai saintis muslim.
Memang tidak sedikit buah yang diperoleh dari kemajuan sains di Barat, namun kita perlu mewaspadai onak dan duri yang berbahaya, yang tidak dapat dilihat kecuali kita telah memiliki pandangan-alam Islam dengan baik. Jika tidak, tujuan sains dan pendidikan sains sekadar menjadikan warga negara yang baik atau fungsional, bagaimana ia menjadi alat bagi pemenuhun keperluan negara, dan bukan manusia yang baik dan beradab, lebih mengkhawatirkan lagi, kecendrungan sains hanya menjadi alat bagi korporasi dalam mengeruk kekayaan alam tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan.
Para filsuf dan saintis menempatkan Tuhan pada tempat yang ia inginkan, mengacuhkan Tuhan, mempertanyakan Tuhan, menolak Tuhan, atau bahkan mengolok-olok Tuhan, mereka tidak lagi melihat jejak Tuhan di alam, sebagai ayat, sebagai Vestigia Dei. Alam bukan lagi bermakna petunjuk, ia sekadar objek yang tidak menunjukkan pada sesuatu yang lain, kecuali fakta dan data atau hukum-hukum relasinya.
Metafisika tidak ditempatkan dengan semestinya dan dipisahkan sama sekali dari Fisika. Akibatnya tujuan sains terbatas pada pemuasan rasa ingin tahu (curiousity) atau pencarian hal-hal baru, scientia gratia scientiae, pengetahuan semata hanya demi pengetahuan. Dalam paradigma sains modern, tugas utama seorang saintis alam dalam metoda saintifik adalah bagaimana menemukan hubungan antara besaran-besaran fisis yang dapat diindera atau diukur yang diharapkan bebas dari apriori atau suatu pengetahuan deduktif yang dianut rasionalisme.
Hubungan-hubungan ini diharapkan menghasilkan sebuah teori yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Ia hanya alat bantu dalam penciptaan teknologi-teknologi yang diperlukan manusia untuk mempermudah kehidupannya dan keperluan hidupnya. Riset-riset dalam sains menjadi sebatas reset retail. Tidak ada tujuan yang lebih luhur dari itu.
Editor | : | |
Sumber | : | pimpin.web.id |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments